Penulis : Uung Ibnu Shobari (UIS) Pendiri OPTIMAL – Organ Politik Madeenah Internasional. Presiden Forum KEREN – Komunitas Pecinta Pesantren
Pesta demokrasi dalam perhelatan pemilu 2024 sudah di depan mata dengan hitungan hari, pekan dan bulan. Setidaknya lolotan mata kita tengah tertuju pada gambar-gambar personal para calon dan simbol-simbol kepartaian dengan jumlah 24 (dua puluh empat) partai yang tidak mudah kita menghafalkannya secara bersamaan, lebih-lebih banyak partai baru lahir dan lolos pada parlementer treshold yang akhirnya termaktub dalam catatan PKPU Republik Indonesia.
Kata berburu, sejatinya dinisbatkan dengan sesuatu yang nyaris dikejar-kejar waktu yang tak menentu, bahkan bisa melupakan daratan dan lautan. Mengapa ? Pada dasarnya pernyataan tersebut sekaligus menjadi pernyataan kolumnis (UIS.red.) yang hingga catatan kecil ini tak kunjung usai ditulis dan dimuat. Lebih-lebih judul opini di atas bersamaannya dengan kata “ Suara Ulama ”. Apa sebenarnya makna implisit dari suara ulama yang dimaksud kolumnis ? Lagi-lagi bertanya dan tak banyak memerlukan pelbagai jawaban. Dalam catatan akademis dan pendekatan empiris, bahwa Suara Ulama telah menjadi sasaran publisitas yang kerap kali diperebutkan dan dijadikan tolak ukur politik.
Tolak ukur politik dari hasil analisis OPTIMAL (Organ Politik Madeenah Internasional, red.) yang juga oleh kolumnis dirikan telah memperkaya khazanah ke-Islaman dan membuat diskursus kajian politik menjadi salah satu konsumsi publik yang tidak lagi menjadi sebuah ketabuan, bahwa Ulama wajib memiliki sikap berpolitik. Disinyalir, bahwa ketika seseorang yang notabene dikategorikan ‘Alimil Ulama tentu juga jelas memiliki dasar hukum syara’ yang dengan tidak langsung, bahwa masyarakat perlu petunjuk, arahan dan edukasi politik yang sustainabel berdasarkan keguyuban dan atau kebiasan publik sami’naa wa atho’naa kepada Ulama tersebut.
Dalam salah satu kajian tematis NU Online yang dilansir dari situs nu.or.id dari catatan yang Kolumnis dapatkan kutipan buku karya Muhammad Amin MS dalam bukunya ” Mengislamkan Kursi dan Meja, Dialektika Ulama dan Kekuasaan ” menguraikan dengan paparan yang nyata tentang perpolitikan di Indonesia yang sering kali melibatkan atau menggunakan peran ulama. Bahkan ulama itu sendirilah yang bermain politik dan menjadi tokoh utama dalam suatu partai politik. Kursi diartikan sebagai singgasana yang mana hal tersebut dalam dunia politik disebut dengan kekuasaan. Sementara meja mempunyai arti papan sebagai tempat berkas-berkas birokrasi yang mana menjadi urusan kenegaraan. Dalam benak kita, bahwa artinya tidak salah apabila suara ulama dalam kancah perpolitikan telah menjadi salah satu buruan normatif yang pada kenyataanya digandeng oleh para pihak politikus praktis murni di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Tidak cukup dengan membahas kata Ulama, karena ada kata lainnya yaitu Kyai. Menarik kita tarik benang merahnya dulu bahwa antara Ulama dan Kyai tentu perlu kita klasifikasikan terlebih dahulu agar substansi pemaknaannya tidak absurded melainkan dapat difahami oleh semua pihak agar betul-betul secara praksis di kalangan orang yang memahami agama keduanya adalah personal / tokoh insan yang dengan alamiah di bumi pertiwi ini sangat disegani dan didengar petuh – nasihatnya.
Point paling penting yang harus kita garisbawahi dalam memahami peta pergerakan Ulama dan Kyai dalam pengejewantahan politik praktis di mata masyarakat masih memiliki beban moral bahwa berpolitik itu tidak akan jauh dari bersiyasah, berkelit, berbohong, bertindak sepihak dan seabrek kata negatif yang selalu menyudutkan pemaknaan berpolitik, padahal nilai-nilai dasar Islam telah tuntas sejak Allah menciptakan manusia ke alam dunia ini penuh dengan intrik politik hingga para Malaikat cemburu atas penciptaan kita sebagai manusia yang sempurna (Q.S. Al-Baqarah : 30 dan Q.S. At-Teen : 5). Makna dibalik itu semua tiada lain guna manusia tetap harus berbuat yang terbaik di dunia dengan kesalehannya, serta memahami lebih jauh tentang keberadaanya sebagai Khalifah di muka bumi ini. Artinya, berpolitik juga bisa menjadi bagian aktivitas pilihan yang baik dan terbaik, tergantung bagaimana manusia memainkan perannya.
Kembali dalam pemaknaan berburu suara politik Ulama dan Kyai, pada dasarnya merupakan autocritic kepada siapa pun yang unsich para pihak telah memanfaatkan pengaruh Ulama dan Kyai menjadi daya tawar program sesaat yang terkadang sembarangan dan sedikit membebankan kepada Ummat melalui kepiawaiannya para Tokoh Agama tersebut yang secara sepihak terkadang disulut oleh tawaran-tawaran para oknum Politisi Kotor (tidak subjektif – berdasarkan analisis empirik politik uang dan atau sejenisnya) yang hanya memanfaatkan suara tajamnya para ulama dan kyai untuk kepentingan dirinya, dengan tidak mengindahkan edukasi politik publik seharusnya (Naudzubillaah).
Profesor Nur Syam (uinsby.ac.id), menyampaikan telaahnya dalam pendekatan agama, tokoh dan ke-Indonesiaan ternyata lebih tajam analisis politiknya yaitu kita lebih banyak dimanfaatkan, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara dengan penduduknya yang multikultural dan plural, yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras dan antar golongan. Berdasar atas pluralitas keislaman di Indonesia, maka dapat menjadikan setiap kelompok keagamaan dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai basis pendukung setiap kepentingan politik. Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan partai-partai politik Islam secara kuantitatif untuk memperebutkan pengaruh pada lahan politik yang sama. Keterwakilan umat Islam bukan lagi dalam kapasitas perbedaan platform ideologis atau bermakna pembelaan kepentingan umat Islam. Dalam konteks ini, pragmatisme politik praktis bahkan cenderung menjadi lebih menonjol dibanding usaha pembelaan kepentingan komunitas dan agama.
Kekhawatiran ini telah sering terjadi di Indonesia, bahwa pragmatisme politik praktis telah mengalahkan langkah politik strategis yang sesungguhnya bahwa berpolitik sehat dan ideal itu merupakan nilai-nilai dan ajaran Islam yang kaaffah (sempurna). Kolumnis (UIS, red.) dalam tatanan praksis tulis menulis ini tiada lain adalah telaah pribadi yang didasarkan ingin mendapatkan substantifitas pemikiran politik Islam dan politik kebangsaan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling mengisi satu sama lain.
Berdasarkan kupasan di atas yang menjembatani nilai politik sehat berbasis agama dan berkebangsaan tentu perlu waktu cukup untuk saling memahaminya, akan tetapi dalam kurun masa yang tidak lama sebagaimana cita-cita dan asa bangsa Indonesia tercinta ini sangat berharap memiliki sistem dan pola pemerintahan yang tidak bosan-bosan bahwa kajian akademis tidak jauh dari proses pengembangan Good Governance yang saling menguatkan, berkeadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya sebagaimana keutuhan bergandengantangannya antara Ulama dan Umara guna menatakelola bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1445 yang memberikan kedamain, penuh dengan nilai-nilai Islami serta menjunjung tinggi etika, moralitas dan kebersamaan inklusif yang berkebhinekaan tunggal ika dalam rangka mewujudkan pesta demokrasi tahun 2024 ini penuh cinta damai dan menghasilkan para pemimpin terbaik di semua tatanan trias politika, baik di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. (uis45678)