Pelanggaran Etika Dalam Kasus Minyak Goreng (Migor)

0
1,006 views

Penulis: Diky Aprizal (Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Pamulang)

 

Minyak goreng merupakan salah satu jenis kebutuhan pokok yang umum digunakan masyarakat Indonesia untuk mengolah makanan, biasanya minyak goreng sangat bersahabat dengan ibu-ibu yang suka memasak dan UMKM yang begerak di bidang kuliner seperti tukang gorengan, tukang batagor, tukang pempek dan lain-lain.

Belum lama ini kita di terpa badai virus covid 19, kurang lebih 2 tahun lama nya, yang mana kita harus menerapkan protokol Kesehatan, menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan di batasi semua kegiatan sehari-hari. Dan tidak luput juga diikuti dengan gelombang PHK Massal yang terjadi dimana-mana membuat masyarakyat menjadi makin kesulitan dari segi ekonomi.

Di saat sedang mencoba bangkit setelah kurang lebih 2 tahun menghadapi virus covid 19 melanda negri ini, kita mulai bangkit, mencoba transisi dalam pemulihan ekonomi di kalangan masyarakat. Akan tetapi kita di hadapi dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng (migor).

Hingaa banyak ibu-ibu yang antre berbondong-bondong serta berdesak-desakan demi memperoleh harga minyak goreng (Migor) yang di subsidi oleh pemerintah.

Ironi memang, kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng terjadi di negri kita, dimana Indonesia merupakan produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006. Berdasarkan data Indexmundi.com, Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbanyak di dunia.

Pada 2021, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 44,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Bahkan menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) angkanya lebih besar lagi, yaitu menembus 46,8 juta ton.

Produksi sebesar itu didukung oleh ketersediaan lahan perkebunan yang luasnya mencapai 15,1 juta hectare.

Dalam prespektif ilmu ekonomi kelangakaan dan mahal nya harga minyak goreng (Migor) tidak jauh dari hukum permintaan dan penawaran pasar. Hukum permintaan dan penawaran pertama kali dikemukakan oleh seorang profesor pakar ekonomi berkebangsaan Inggris Alfred Marshall (1842-1924).

Menurut Alfred Marshall Hukum Permintaan jika harga suatu barang naik, maka jumlah barang yang akan diminta akan berkurang. Sebaliknya, jika harga barang turun, maka jumlah barang yang diminta kan bertambah”.

Sedangkan Hukum Penawaran jika harga suatu barang naik, maka jumlah barang yang ditawarkan akan bertambah. Sebaliknya, jika harga suatu barang turun, maka jumlah barang yang ditawarkan akan berkurang.

Hubungan antara hukum permintaan dan penawaran dengan kelangkaan minyak goreng (migor) yang terjadi karena kurangnya pasokan suatu produk dan permintaan yang tinggi akan menyababkan ketidaksesuaian dalam keseimbangan permintaan dan penawaran.

Dalam kasus kelangkaan minyak goreng terjadi karena keserakahan oknum pengusaha dengan cara menimbun barang minyak goreng (migor) untuk kemudian di lepas di pasar dengan harapan harga naik dan memperoleh keuntungan berlipat lipat.

Keserakahan yang di lakukan oleh pengusaha melanggar tindakan beretika. Menurut Brooks dan Dunn (2012) terdapat tiga dasar mengapa manusia melakukan tindakan beretika, yaitu agama, hubungan dengan pihak lain dan persepsi tentang diri sendiri.

Agama pada dasarnya sudah mengatur atau memberi petunjuk mengenai seluruh tindakan manusia di dunia, yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Dasar yang kedua adalah hubungan dengan pihak lain. Manusia minimal tidak merugikan pihak lain dan yang terbaik adalah memberikan manfaat kepada orang lain.

Penjabaran hubungan dengan pihak lain yang cukup populer belakangan ini adalah compassionate (berbelas-kasih dengan sesama). Bentuk lainnya seperti kasih sayang, cinta, simpati, dan lain-lain. Dasar yang ketiga adalah persepsi tentang diri sendiri.

Manusia melakukan tindakan beretika untuk kepentingan diri sendiri (self interest).

Dasar ketiga ini berdasarkan asumsi bahwa manusia sebetulnya memiliki sifat mementingkan diri sendiri. Manusia berupaya melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.

Brooks dan Dunn (2012) membedakan antara mementingkan diri sendiri dengan egois. Egois adalah melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi diri sendiri dengan tidak memerdulikan apakah tindakan tersebut merugikan pihak lain atau tidak.

Sedangkan mementingkan diri sendiri adalah melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi diri sendiri dengan tidak merugikan pihak lain.

Yang dilakukan oleh para pengusaha dengan cara menimbun minyak goreng (migor) dan melepas dengan harga tinggi merupakan tindakan beretika yang mementingkan diri sendiri dengan egois. Yang memberikan manfaat bagi diri sendiri dengan merugikan pihak lain.

Dimana si para pengusaha meraup keuntungan besar dari penjualan minyak goreng (migor). Tetapi masyarakyat harus menjerit, mengantre, berdesak-desakan untuk memperolah minyak goreng (migor).

Padahal sudah di atur dalam bagaimana bunyi UUD 1945 (Pasal 33 Ayat 1); Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Pasal 33 Ayat 2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat 3)

“Negara harus hadir menyelasaikan dalam polemik kelangkaan dan mahalnya minyak goreng (migor) dan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng guna untuk merinngankan beban masyarakyat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here