Oleh: Samuel Mink
Penekun Kebudayaan, tinggal di Tangerang
Di tengah hiruk pikuk puncak arus mudik, dengan segala campur aduk perasaan para pemudik di dalamnya. Tiba-tiba saya mendapat postingan berupa penggalan kalimat yang hemat saya cukup mewakili perasaan para pemudik dari seorang teman yang juga dikenal sebagai budayawan dan penekun esai-esai filosifis, asal Kuningan, Khudori Husnan namanya, atau biasa disingkat KH.
Postingan kalimat KH tersebut berisi:
“Tidak semua panggilan berhubung dengan suara yang dapat diukur kelantangannya dengan desibel.
Ada jenis panggilan yang begitu terasa sangat nyaring dan keras—dalam beberapa kasus bahkan mampu membuat mereka yang merasakan getarannya tersungkur haru—namun tetap tak bisa ditangkap oleh alat ukur manapun.
Panggilan itu adalah panggilan dari kampung halaman.
Pulanglah…hati-hati di jalan!” tulis KH
Penggalan kalimat ini cukup dalam maknanya, sebab bukan hanya berusaha ingin menangkis semua kesimpulan sebagian orang yang melihat fenomena mudik sebatas peristiwa sosiologis apalagi ditangkap dengan alat ukur saintifik. Lebih dari itu, mudik adalah sesuatu yang sangat eksistensial, situasinya terasa cukup personal meski keriuhannya massal.
“Panggilan”
Ya, mudik sebagai sebuah suara atau panggilan kampung halaman yang menghadirkan ingatan masa silam juga kekinian nyatanya tetap sulit dideskripsikan getarannya.
Segelintir orang boleh mengatakan buat apa capek-capek mudik, bermacet-macet ria, toh hanya satu, dua hari, atau paling lama seminggu di kampung halaman. Belum lagi bila diukur secara ekonomis; tak sedikit uang yang harus dihabiskan. Tapi karena getaran atau panggilan itulah, pengalaman mudik tak bisa diukur dengan semua kalkulasi ilmiah.
Mudik memang memunculkan keriuhan sosial, jalanan macet, bunyi klakson bising, teriak ke-tidak-sabaran pengguna jalan, keruwetan petugas jalan mengurai antrian kendaraan yang mengular dan segala rentetan peristiwa lainnya yang menyertai di antara keriuhan mudik.
Tapi disitulah seni mudik, alias pulang kampung. Karena keriuhan itu pula panggilan kampung halaman makin terasa menggetarkan dimensi eksistensial manusia bersamaan dengan kerinduan yang segera ingin tumpah ruah.
Lantas apa yang kemudian membuat orang-orang rela berjejal di bis kota, kereta atau mobil pribadi, panas-panasan macet menunggangi roda dua untuk pulang kampung? Lagi-lagi jawabannya tidak bisa disimpulkan dalam satu kata atau kalimat.
Mudik atau pulang kampung adalah panggilan, sebab kampung halaman lekat dengan ingatan masa silam. Lekat dengan pengalaman para perantau yang berjuang mencari nafkah meninggalkan kampung halaman. Lekat dengan jejak-jejak pengalaman yang terasa begitu eksistensial atau pengalaman personal. Atau dalam bahasa fenomenologi sebagai mistik keseharian (lebenswelt).
Mudik juga menghadirkan situasi kekinian, dimana orang akan hadir dengan tampilan masa kini, tapi pada saat bersamaan ingin menghadirkan masa silam di kampung halamannya.
Mudik adalah pertautan ingatan masa silam dan situasi kekinian. Mudik adalah ruwatan tentang ingatan masa silam dan kekinian sekaligus.
Getarannya jelas sulit dijabarkan, namun rona kebahagiaannya mudah untuk dirasakan bagi mereka yang pulang kampung.
Martabat “Mudik”
Karena pertautan tampilan masa kini dan menyembulkan ingatan masa silam itulah, tak berlebihan jika kata ‘mudik’ dalam kolom bahasa edisi Majalah Tempo pekan ini, dianggap mengalami peningkatan martabat.
Kata yang sudah menjauh dari kata aslinya, yakni “meng-udik” atau merujuk pada kata “udik” ini, semula dipandang sebagai kata ejekan. “Udik” sempat dianggap sebagai kata yang disematkan untuk orang yang tertinggal, tapi kini kata pejoratif itu berubah meningkat derajatnya sejak menjadi “mudik”
Keadaan menjadi berubah setelah berjuta-juta orang, bahkan mayoritas orang kota, yang ternyata berasal dari “udik” kini mengikuti tradisi “mudik” secara massal.
Pemberian imbuhan yang kurang taat dengan tata tertib berbahasa Indonesia baku pun pada kata “mudik” seolah tak jadi soal. Padahal semestinya kata bentukan baku itu berbentuk “mengudik”, bukan “mudik”.
Gejala bentukan kata “mudik” menurut penulis kolom bahasa Majalah Tempo, mirip dengan kata “mundur” tapi kemudian mandiri menjadi kata dasar sendiri. Padahal ada padanan kata yang agak mirip untuk menggambarkan kerinduan orang pada kampung halaman, yakni pulang kampung. (Baca Majalah Tempo)
Ya, bahasa memang harus tunduk kepada kebiasaan sang penutur atau pemakai. Jadi, lepas dari baku tidaknya kata “mudik” yang jelas dari asal katanya saja, “mudik” saat ini diakui atau tidak, memang mengalami peningkatan martabatnya. Ejekan pada kata “udik’ pun bahkan nyaris tak terdengar lagi.
Barangkali karena kenaikan derajat kata “mudik” itulah fenomena tradisi mudik sangat spesial pun tentu sangat eksistensial karena erat dengan pengalaman personal para pemudik.
Semua orang ingin mudik, tua muda, lelaki wanita, orang kaya raya maupun biasa. Semua orang “udik” yang tinggal di kota merantau mengadu nasib, selalu ingin mudik alias pulang kampung setiap kali lebaran tiba. Sebab disana tertimbun reruntuhan ingatan, campur aduk perasaan dan kerinduan yang ingin dihimpun ulang, juga kekinian yang hendak dibandingkan.
Semua jejak dan pengalaman itu sulit diurai dengan satu kata, kecuali sebagai seni mengukir kebahagiaan.
Selamat pulang kampung, semoga hari-hari para pemudik bertemu sanak saudara dan mengingat masa silam cukup menyenangkan!