Bank Banten Masuk Jebakan Batman

0
216 views

Oleh : Dadang Handayani

Mendirikan Bank Banten ternyata tidak se-semangat bagaimana dulu kita memperjuangkan lahirnya Provinsi Banten yang saat itu menjadi bagian dari Jawa Barat. Melalui perjalanan panjang masa-masa persiapan bagaimana Bakor Pembentukan Provinsi Banten yang hingga saat ini saya masih ingat dan mengenal siapa tokoh-tokohnya dan tidak perlu saya sebut hingga pada 4 Oktober 2000 Banten secara de facto dan de jure resmi bercerai dari Jabar.

SEMANGAT memisahkan diri dari Jabar tentu disertai dengan berbagai pemikiran bahwa Banten sudah dapat berdiri sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, pembangunan digeber selain membangun gedung, kantor dan insfratruktur juga salah satunya mendirikan Bank Daerah.

Pemikiran itu muncul pada dua dekade lepas dari awal penjabat gubernur Banten Hakamudin Djamal, kemudian berangsur memiliki gubernur definitif yaitu Djoko Munandar dan Hj. Atut Chosyah sebagai wakilnya yang saat itu dipilih melalui DPRD Banten.

Sayangnya gubernur Djoko tersandung masalah dan tidak lama menjabat, hingga akhirnya Hj. Ratu Atut Chosiyah naik tahta menggantikannya. Periode berikutnya Ratu Atut Chosyah yang berpasangan dengan Masduki melenggang melanjutkan pemerintahan di Provinsi Banten. Nah pada periode berikutnya kembali Ratu Atut Chosyah yang berpasangan dengan Rano Karno terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Banten hasil pemilihan langsung.

Di era pemerintahan Atut-Rano inilah keinginan untuk mendirikan Bank Daerah mulai dibahas. Beberapa nama Bank yang sudah kolaps mulai dilirik dan dihitung untuk di akusisi, dari empat bank yang dilirik salah satunya Bank Pundi. Dalam sejarahnya sebelum menjadi nama Bank Banten, Pada tanggal 29 Juli 2016, pergantian nama bank yang berkode emiten BEKS ini telah mendapat surat keputusan dari otoritas jasa keuangan No. 12/KDK.03/2016 tentang penetapan penggunaan izin usaha atas nama PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk. Sehingga Bank Pundi resmi berganti nama menjadi Bank Banten mulai awal Agustus 2016.

Bank Banten semula direncanakan akan beroperasi pada akhir tahun 2016, tercancam batal setelah akhir tahun 2015 terjadi operasi tangkap tangan oleh KPK yang menyeret para petinggi BGD dan anggota DPRD. Peristiwa tersebut tentu saja membuat kaget semua pihak, terutama Pemprov Banten. Para pejabat dan pihak swasta yang ditangkap merupakan pihak yang memiliki peran penting dalam pendirian Bank Banten, salah satunya yaitu RT Drektur Utama Banten Global Developmen (BGD).

Jika menilik dari perjalanan pendirian Bank Banten yang tertuang dalam RPJMD sepertinya merupakan program ambisius, dimana gagasannya tak lain hanya untuk mengoptimalkan potensi ekonomi daerah dan untuk mempercepat pembangunan Banten. Seyogyanya program tersebut diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi kemajuan ekonomi di Banten dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit ke UMKM. Namun apa daya, mimpi rakyat Banten untuk memiliki bank sendiri di luar bank BJB pada akhirnya harus kembali masuk dalam pusaran BJB yang notabonenya Bank milik Jabar.

Rekomendasi BGD terhadap strategi pembentukan Bank Banten, terdapat empat bank yang direkomendasikan, yaitu Bank Pundi, Bank MNC, Bank Panin Syariah, Bank Windu. Keempat bank tersebut merupakan hasil kajian tim konsultan independen dari BGD. Kinerja Bank Pundi yang diakusisi menjadi Bank Banten memiliki kinerja yang sangat buruk di tahun 2014. Bank Pundi merupakan bank milik grup Recapital yang dimiliki oleh pengusaha kawakan Sandiaga Uno dan Rosan Roeslani. Melalui Recapital, mereka mengakusisi Bank Eksekutif yang sudah akan kolaps karena mismanagement dan kredit macet. Pada 2010, grup Recapital masuk dan berubah nama menjadi Bank Pundi.

Pilihan untuk mengakuisisi Bank Pundi sepertinya merupakan satu-satunya, namun dari aspek kinerja Bank Pundi kurang layak untuk diakuisisi. Jika memaksakan, maka modal yang akan masuk berpotensi akan digunakan oleh manajemen terlebih dahulu untuk menutupi kerugian. Potensi penerimaan deviden juga sangat jauh dari harapan, mengingat hampir selama tiga tahun berturut-turut Bank Pundi tidak membagikan dividen kepada pemilik saham. Karena kondisi inilah dulu kita ramai-ramai menyarankan agar tidak mengakusisinya.

Bank Pundi sudah menjadi Bank Banten, namun Bank kebanggaan masyarakat Banten ini kini terkulai dan disebut-sebut sudah tak sehat lagi. Maka karena alasan itu harus dilakukan merger dengan Bank milik Pemprov Jabar. Merger Bank Banten dan BJB tidak bisa ditawar-tawar lagi, keputusan telah disepakati oleh masing-masing Gubernur sebagai pemegang saham pengendali terakhir kedua BPD tersebut. Atas keputusan merger itu, Otoritas jasa Keuangan (OJK) akan memproses merger antara kedua Bank tersebut.
Penggabungan usaha kedua bank dituangkan dalam Letter Of Intent (LOI) yang telah diteken oleh Gubernur Banten Wahidin Halim dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada Kamis 23 April lalu. Dalam kerangka LOI tersebut, kedua bank pembangunan daerah ini akan melaksanakan kerjasama bisnis, termasuk dukungan Bank BJB terkait kebutuhan likuiditas Bank Banten. Dalam akusisi itu, disepakati salah satu penempatan dana dalam bentuk pinjaman antar bank dan pembelian aset yang memenuhi persyaratan tertentu.

Melihat konsep penggabungan ini, Bank BJB bakal melakukan uji tuntas (due diligence). OJK meminta Bank BJB dan Bank Banten segera melaksanakan tahap-tahap penggabungan usaha. Selama proses penggabungan, Bank Banten dan BJB tetap beroperasi secara normal melayani nasabah dan layanan transaksi lain keuangan masyarakat, meski dalam pelaksananannya tetap saja menimbulkan keresahan dan saling menimbulkan persepsi negatif bagi nasabah.

Beberapa pendapat ada juga yang menyatakan keputusan ini upaya penguatan perbankan nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan karena sejalan dengan peraturan OJK yang baru berlaku sejak 17 Maret 2020 dengan Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
Pada sisi lain, Bank Banten yang dimerger dengan BJB dinilai positif dalam kondisi ekonomi saat ini. Otoritas Jasa Keuanganpun telah mendorong bank-bank di Indonesia melakukan aksi merger atau akuisisi agar didapatkan bank-bank besar yang besar dan kuat dari segi permodalan maupun ekuitas. Langkah ini merupakan langkah yang tepat, karena masyarakat lebih percaya pada bank dengan aset yang besar, hanya persoalannya kenapa harus merger dengan BJB?

Dari data tahun lalu diperoleh, Pemprov Banten sebagai pemegang saham pengendali terakhir Bank Banten merupakan pemegang saham Bank BJB sebesar 5,29 persen, karena itu dinilai menguntungkan akan mempercepat proses aksi korporasi ini. Merger punya keuntungan karena akan meningkatkan efisiensi kedua bank. Asumsinya setiap bank memiliki kelebihan bila di gabung akan menghasilkan sinergi yang kokoh.
Kekhawatiran perlambatan aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid 19 membuat sebagian orang menjual saham. Kebijakan gubernur Wahidin yang mengakusisi Bank Banten ditengah pandemi coronavirus dinilai tidak populis.

Berbagai kalangan mengkritisi kebjiakan Wahidin dinilai tidak dapat menjaga stabilitas keuangan daerah. Memindahkan rekening kas daerah dari Bank Banten ke BJB karena keuangan di kasda defisit. Hal itu terungkap dari tidak terbayarnya insentif tenaga medis RSUD Banten hingga keluhan sejumlah pengusaha sulitnya mengajukan pembayaran hasil pekerjaan menggambaarkan kesulitan finansial. Tak harus ditutupi Pemprov Banten mengalami krisis dan Gubernur Wahidin dianggap gagal.

Pemindahan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Pemprov Banten, dari Bank Banten ke BJB, dianggap salah satu penyebab tidak proporsionalnya Pemprov Banten dalam mengelola keuangan. Kondisi keuangan Pemprov Banten tidak mencukupi untuk menunjang kegiatan, bahkan untuk memenuhi kewajibanya. seperti membayar honor kepada sekitar sembilan ribu pegawai non ASN sampai belum dapat dicairkan. Indikatornya, hearing sejumlah tenaga medis RSUD Banten akhir pekan lalu ke Komisi V DPRD Banten terungkap bahwa uang insentif yang dapat dicairkan setiap tanggal 25 pada setiap bulannya ternyata tak sepenuhnya diterima.

Ada yang menarik dari keputusan Gubernur Banten nomor 580/Kep-144-Huk/2020 tentang penunjukan BJB kantor cabang khusus Banten sebagai tempat penyimpanan uang Pemprov Banten. Melalui surat tersebut, kas daerah Pemprov Banten dipindahkan dari Bank Banten ke BJB. Keputusan ini tentu saja mengagetkan banyak kalangan, utamanya para pelaku usaha yang memarkirkan dana di Bank Daerah milik Pemprov. Kebijakan itu membuat masyarakat panik dan beramai-ramai menarik uang akan tetapi Bank Banten menutup pelayanan, termasuk tidak menyediakan dana di sejumlah ATM.
Bahkan seorang pengusaha mengaku kesal karena pekerjaannya tak dibayar, padahal sudah mendapat Surat Perintah Membayar (SPM).

Dari data diperoleh, Bank Banten pada tahun lalu tercatat merugi Rp 137,55 miliar. Kerugian tersebut, membengkak dibandingkan dengan rugi bersih tahun sebelumnya senilai Rp 100,13 miliar. Turunnya laba bersih Bank Banten, salah satu sebabnya adalah turunnya pendapatan bunga bersih sepanjang tahun lalu. Bank Banten tahun lalu tercatat mengangtongi pendapatan bunga bersih senilai Rp 79,85 miliar, sedangkan tahun sebelumnya Rp 135,57 miliar. Kalau di kalkulasikan meruginya Bank Banten pada era kepemimpinan Wahidin-Andhika.

Fluktuasi keuangan terus merugi, menyebabkan modal bank Banten pun tergerus dari Rp 370 miliar pada 2018 menjadi Rp 173 miliar. Apabila ditilik dari rasio kecukupan modal Bank berkode saham BEKS ini pada akhir tahun lalu, hanya mencapai 9,01% atau berada dibawah rasio sesuai profil risiko berdasarkan aturan OJK sebesar 10%. Disisi lain, BJB sepanjang tahun lalu mengantongi laba bersih Rp 1,6 triliun, meski hanya tumbuh tipis 0,8% dibandingkan dengan laba tahun sebelumnya. BJB mencatatkan kredit tumbuh 8,68% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 81,89 miliar dan mampu memperbaiki rasio kredit seret menjadi 1,58%.

Karena itu, PT Bank Pembangunan Daerah Banten berencana meningkatkan rasio permodalan inti menjadi lebih dari Rp 1 triliun. Langkah tersebut dimaksudkan agar sesuai dengan rencana OJK merivisi aturan modal inti perbankan nasional. Manajemen Bank Banten meminta Pemprov Banten melalui BUMD PT Banten Global Development (BGD) agar rasio pemodalan inti di ikut sertakan dalam penggabungan kedua Bank tersebut.

Dilansir dari berbagai sumber, menurut Direktur Bank Banten Jaja Jarkasih upaya strategis itu akan dimulai dengan mengajukan permintaan penambahan modal kepada BGD selaku entitas induk pemilik usaha. Rencana injeksi modal tersebut, menjadi salah satu concern perseroan yang dinilai cukup penting realisasinya. Sebab, bank kebanggaan warga Banten tersebut tidak ingin menerima sanksi turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat apabila tidak memenuhi aturan OJK terkait permodalan inti.

Selain permintaan suntik dana, Bank Banten tengah bersiap melakukan right issue atau penawaran saham terbatas guna memperkuat struktur kapitalisasi perseroan. Awalnya, pelepasan saham ke lantai bursa itu dilakukan pada akhir 2019 lalu, namun proses right issue akan berlangsung pada tahun ini.
Sebagai informasi, OJK berencana melakukan revisi aturan ambang batas modal inti bank konvensional menjadi minimal Rp 3 triliun secara bertahap dalam tiga tahun kedepan. Adapun, saat ini bank umum kategori terendah mempunyai struktur permodalan inti di bawah Rp1 triliun. Kelas ini kemudian dikategorikan dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I. Sementara bank Buku II modal inti yang harus dimiliki antara Rp1 triliun hingga Rp 5 triliun, Buku III Rp5 triliun sampai dengan Rp 30 triliun, dan Buku IV lebih dari Rp30 triliun.

Bank Banten sendiri diketahui hanya memiliki rasio permodalan inti sebesar Rp190,41 miliar. Angka tersebut merupakan capaian perseroan pada akhir kuartal III/2019 yang dilaporakan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai emiten publik. Disisi lain, berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi Oktober 2019 bank Buku I yang kini beroperasi di Indonesia berjumlah 13 entitas. Dari angka tersebut, tiga bank memiliki penguasaan aset di bawah Rp 1 triliun, sembilan bank memiliki aset antara Rp1 triliun hingga Rp10 triliun, dan satu bank lainnya tercatat lebih dari 10 triliun.

Yang memprihatinkan, kebijakan gubernur mengambil langkah merger tersebut sesungguhnya Pemprov Banten masih menyimpan dana sebesar Rp 1,5 triliun di Bank Banten. Celakanya, uang tidak dapat dicairkan karena Bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas. Imbasnya, Pemprov Banten menunda pembayaran Tunjangan Kinerja (Tukin) para ASN dan hanya dapat membayar gaji pokok pegawai saja. Pada sisi lain, untuk menstabilkan keuangan, Pemprov mengandalkan pendapatan harian berupa pajak daerah.

Melihat pendapatan dari pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) biasanya mencapai Rp 25 miliar kini turun drastis dari dua pendapatan itu hanya menerima Rp 6 miliar saja. Sedangkan pendapatan dari sektor lainnya tergerus adanya pandemi coronavirus, sehingga hampir semua kegiatan diseluruh OPD dipangkas dialihkan guna penanganan wabah covid-19.

Ada yang menarik untuk disoal terkait pinjaman gubernur Banten kepada BJB sebesar Rp 800 miliar pasca Bank Banten resmi di merger. Dari informasi diperoleh, semula pinjaman tersebut disepakati free alias tanpa bunga. Akan tetapi dalam perjalanannya ternyata BJB mematok bunga sebesar 8,5 %. Kesepakatan inilah menyebabkan Pemrov Banten kesulitan keuangan, padahal dana Pemprov Banten yang diparkir di Bank Banten masih tersimpan Rp. 1,5 triliun.

Tarik ulur permohonan gubernur Wahidin atas pinjaman di BJB inilah tanpa disadari sudah masuk dalam jebakan batman managemen Bank milik Jabar tersebut. Kita punya pengalaman dulu dijaman Bupati Pandeglang Ahmad Dimyati Natakusuma juga melakukan hal sama. Tapi apa lacur dikata, pinjaman sebesar Rp 200 miliar tersebut bermasalah dan diproses secara hukum. Kemudian karena alasan dalam situasi pandemi seperti ini, apabila pinjaman gubernur tersebut terealisasi akankah membuka kembali ruang bagi penegak hukum untuk bergerak.

Jujur saja melihat kondisi carut marutnya beberapa kebijakan dan kinerja gubernur Banten saat ini sedih rasanya. Padahal dulu kita sama-sama berjuang untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Jabar bukan seperti ini yang diharapkan. Sebagian tokoh-tokoh pembentukan Provinsi Banten yang telah tiada juga akan merasakan betapa kini Banten jauh dari apa yang dicita-citakan. Karena apa? Karena pemimpinnya selalu mementingkan kelompoknya.

Lahirnya Provinsi Banten tentu saja bukan hanya insfratruktur dan kantor pemerintahan saja yang menjadi perhatian, juga termasuk salah satunya memiliki Bank Daerah secara otonom sebagai simbol Banten. Bank Banten tidak ujuk-ujuk berdiri, tentu melalui proses perjalanan panjang dan melelahkan. Terlepas dari silang sengkarut proses akusisi Bank Pundi ke Bank Banten, pada kenyataannya Bank milik kebanggaan masyarakat Banten itu sudah berdiri.

Sayangnya sejak berganti rezim, dari pemerintahan Gubernur Rano Karno ke Wahidin Halim Bank Banten tidak dijaga dan dirawat, bahkan sepertinya dibiarkan sehidup-hidupnya. Tampak tidak ada keinginan Wahidin untuk membuat sehat Bank milik Daerah tersebut, jangankan di suntik agar tumbuh kembang seperti Bank lainnya, bahkan yang mengejutkan Bank tersebut kini di merger dengan Bank BJB tanpa persetujuan DPRD.

Yang menggelitik pertanyaan, jika harus di merger kenapa harus dengan BJB? Bukankah dulu kita sama-sama berjuang menuntut memisahkan diri untuk menjadi Provinsi karena tidak ingin selalu ada dibawah bayang-bayang Jabar? Tidak bisakah Bank Banten di merger dengan BRI, BNI, BCA atau Bank lain selain BJB? Tentu Bank tersebut jauh lebih sehat dan besar dibanding BJB, tapi apa mau dikata kebijakan merger sudah diambil.

Ada agreement apa dibalik merger ini antara Wahidin dengan Ridwan Kamil? Sebegitu ngotot harus dengan BJB. Yang pasti, atas kebijakan itu para praktisi di Banten bersiap untuk melakukan upaya hukum melawan atas apa yang telah dilakukan gubernur. Tentu saja situasi ini menjadi bola liar ditengah kita sedang mengadapi pandemi coronavirus. Pada sisi lain rakyat Banten mau menggugat, sisi lainnya 100 advokat disiapkan oleh gubernur untuk menghadapi upaya hukum yang akan dilakukan oleh rakyatnya sendiri.

Biarlah itu akan menjadi perdebatan pada tataran kebijakan yang sudah diambil gubernur apakah membawa manfaat atau sebaliknya membawa mudharat. Sebagai warga negara yang cinta akan Banten, kita berhak mengkritisi kebijakan pemimpin sepanjang ruang itu ada dan berdampak baik bagi kemaslahatan jutaan rakyat Banten. Karena sejatinya gubernur Banten bukan milik warga Tangerang, tapi juga milik warga Serang, Pandeglang, Lebak dan Cilegon.
Satu hal yang menjadi catatan dari kesulitan keuangan Pemprov Banten ini, jika benar BJB mentargetkan suku bunga atas pinjaman Rp. 800 miliar sebesar 8,5%, maka tak dinafikan cara seperti itu diakui atau tidak gubernur masuk dalam jebakan batman. Kalau tidak masuk dalam jebakan batman seharusnya pinjaman tersebut seyogyanya telah dapat dicairkan, apalagi level gubernur yang mengajukan pinjaman, maka urusan birokrasi tentu tak ada soal.

Bank Banten seperti anak tidak diharapkan, dulu dicari dan diperjuangkan. Tapi setelah lahir dan berdiri Bank Banten tidak dirawat dan dipelihara. Bank Banten tak memiliki bapak sejati, karena pada tiap lima tahun harus berganti bapak. Kini Bank Banten sudah tidak sepenuhnya lagi milik urang Banten, nasibnya bergantung kepada Bank milik Jabar. Kita tidak tahu apakah nanti Pemprov Banten juga akan di merger dengan Jabar? Ya semoga itu hanya persepsi saja.

Mimpi dan cita-cita menjadikan Banten sejajar dengan Provinsi yang lebih dahulu lahir hanya menunggu keajaiban dari lahirnya sosok pemimpin yang benar-benar sesuai harapan, karena kedepan kita tidak akan tahu cerita Banten akan seperti apa, yang kita tahu kondisi Banten saat ini dengan segala persoalannya. Kuatkan Bantenku, kamu tidak akan bangkrut.

Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Banten.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here