BANTENKINI.COM, KOTA TANGERANG Para pengurus mesjid dekat rumah Sang Tokoh yang berada di saf terdepan, dan masih muda-muda, gelisah. Sudah mendekati azan, tetapi khotib belum datang juga. Komunikasi terakhir, sejam lalu, dengan khotib bersangkutan, dia masih menyatakan bakal datang, tetapi sejak 30 menit lalu tak dapat dihubungi lagi. Telepon genggamnya pun seperti mati. Padahal waktu azan tinggal beberapa menit lagi. Biasanya khotib ini tak pernah meleset janjinya. Paling tidak, 15 menit sebelum azan kalau gilirannya jadi khotib pastilah sudah tiba. Tapi hari ini, tumben, tak seperti biasanya, dia belum hadir tanpa kabar berita.
Dan waktu azan pun tiba. Bilal berdiri melafalkan azan. Para pengurus mesjid saling berpandangan. Sementara azan berkumandang para pengurus secepat kilat berunding siapa yang bakal jadi khotib. Biasanya, kalau khotib tidak datang, dapat dengan mudah diganti oleh khotib yang tersedia dari pengurus mesjid.
Memang sebagian pengurus mesjid mempunyai kemampuan dapat pula merangkap sebagai khotib.
Masalahnya, beberapa orang yang biasa jadi khotib juga sedang tidak ada, baik lantaran sedang bertugas menjadi khotib di mesjid lain, atau sedang ada urusan di wilayah lain, sehingga tidak hadir di masjid ini.
Pengurus yang hadir kebetulan yang masih muda dan tak pengalaman menjadi khotib.
Jemaah terus berdatangan. Bagian dalam atas mesjid sudah penuh. Azan hampir selesai. Sholat jumat tak mungkin ditunda. Sholat jumat harus dilaksanakan. Menunjuk salah satu jemaah yang datang pun sulit. Waktunya terlalu mendesak. Lagipula pengurus tak hafal jemaah mana yang mungkin biasa jadi khotib dan yang tidak. Lantas bagaimana jalan keluarnya?
Hanya beberapa saat sebelum suara azan selesai, para pengurus muda mesjid serentak, tanpa dikomando, menunjuk kepada Sang Tokoh. Tak ada pertimbangan khusus. Hanya semacam “feeling” saja di antara mereka Sang Tokoh Lah yang paling layak jadi Khotib pada hari itu.
Sang Tokoh terkejut, karena , sebenarnya, dia sendiri belum pernah jadi khotib sholat jumat. Kendati begitu, bagaimana pun ini amanah yang sulit dihindari. Dia harus melaksanakannya
“Bismilah,” katanya seraya reflek bangkit dari duduk menuju mimbar dan duduk di balik podium. Begitu azan selesai dia berdiri di podium menghadap jemaah. Sang Tokoh seperti mendapat bimbingan khusus dari sebuah kekuatan. Dia sendiri heran bagaimana dia dapat membawakan khotbah dengan percaya diri dan lancar.
Seorang jemaah, duduk agak sebelah kanan saf ketiga, langsung mengeluarkan HP dari saku celananya. Dia merasa bakal terjadi skandal dan kehebohan karena Sang Tokoh dinilainya tak mampu menjadi khotib, dan karenanya sholat jumat bakal kacau. Dia pun merekam proses dari awal Sang Tokoh menjadi khotib. Dengan harapan dia dapat video yang dapat langsung viral. Sewaktu Sang Tokoh bangun dari kursi dan berdiri menghadap jemaah, sudah terekam.
Si perekam tak faham, sejak Sang Tokoh siuman dari tertabrak mobil, dia mengalami proses perubahan yang luar biasa. Semacam metafora. Kemampuan mengingatkan menyamai, bahkan melebihi komputer. Hal-hal yang pernah dibacanya menjadi dapat diingatnya dengan detail.
Kemampuannya terhadap penguasa bahasa asing, termasuk bahasa Arab, tiba-tiba menjadi menakjubkan. Lafalnya juga pas. Gaya, aksen dan diksinya tepat. Sang Tokoh bagaikan memperoleh karomah dari Allah yang tidak semua orang diberikan.
Allah Maha Agung. Apa saja yang dikehendaki dapat terjadi. Kun faya kun.Tak ada yang tak mungkin terjadi, jika Allah menghendakinya. Apapun dapat terjadi apapun.
Sang Tokoh diberikan kemampuan mengingat yang sangat kuat. Sebelumnya Sang Tokoh penggemar baca yang luar biasa. Segala buku, cetak maupun online, dia baca. Dari mulai filsafat, hukum, agama, kebudayaan sampai dengan soal
bercocok tanam dan memelihara burung dibacanya.
Dalam bidang agama dia membaca ribuan buku. Dari sejarah islam, biografi Nabi Muhammad, asal usul turunnya ayat Quran, sejarah penyusunan hadis, telaah mazhab dan aliran dalam agama, kitab kuning, buku para para orientalis, kejawen, tarekat, sampai bagaimana cara wudu, , dan buku bagaimana menjadi khotib.
Itulah sebabnya saat tampil sebagai khotib Sang Tokoh sangat lancar. Baca-bacaan di awal kotbah berjalan dengan sangat baik, seakan Sang Tokoh telah terbiasa menjadi khatib.
Gaya bicaranya yang kalem, teratur, sistematis tetapi tegas, memukau sebagian besar jemaah. Para jemaah mendengarkan dengan seksama dan ada yang sekali-kali mengangguk kepala mendengarkannya.
“Pada kesempatan ini khotib ingin membahas mengenai makna ‘Allahuakbar.’ Jika arti harafiah ‘Allahuakbar’ hampir semua pasti sudah faham. Allahuakbar jika diterjemahkan secara harafiah artinya Tuhan Maha Besar. Tuhan Maha Agung.
Semua sudah tahu itu. Tapi apa makna Allahuakbar dalam kehidupan dan penghidupan kita sehari-hari?” ujar Sang Tokoh.
Disini Sang Tokoh berhenti sejenak. Dia memperhatikan para jemaah. Matanya menyisir dari saf depan sampai ke belakang, dari kiri kanan. Rupanya jemaah menanti kelanjutannya.
Sang tokoh meneruskan penjelasannya: “Azan didahului dengan Allahuakbar. Begitu juga sholat, setelah niat, kita takbir Allahuakbar. Setiap peralihan posisi selalu diawali dengan Allahuakbar. Berapa kali selama sholat kita menyebut Allahuakbar? Ini menunjukkan kata Allahuakbar mempunyai makna yang penting. Arti yang tidak main-main dalam kehidupan dan penghidupan kita.
Dengan menyebut Allahuakbar berarti kita mengakui Allah Lah yang terbesar. Allah yang Paling Agung. Allah paling hebat. Jika kita telah mengakui hal tersebut, apa konsekuensinya dalam kehidupan dan penghidupan kita?
Kalau kita sudah mengakui Allah Maha Besar, Maha Dahsyat, itu berarti kita harus memberikan yang terbaik kepada Allah. Memberikan maksimal yang dapat kita berikan. Bukan yang asal-asalan. Pemberian yang asal-asalan, yang secukupnya saja, kepada Allah, secara tidak langsung kita mengingkari Allah itu Maha Besar. Maha Hebat. Sebab pada satu sisi kita mengakui Allahuakbar, Allah Maha Besar, tetapi pada sisi lain kita menghadapinya dengan asal-asalan. Dengan sembarangan. Dengan biasa-biasa saja. Itu kontradiksi.
Kalau kita sudah takbir menyebut Allahuakbar, kita harus konsekuen memberikan diri kita yang terbaik kepada Allah. Kalau kita pelajar dan mahasiswa, kita harus memberikan waktu kita untuk belajar dengan sebaik-baiknya. Kita harus jadi pelajar atau mahasiswa yang dengan kemampuan terbaik. Bukan pelajar dan mahasiswa yang biasa-biasa saja. Dengan begitu, kita dapat lebih memahami ilmu pengetahuan. Kita harus jadi pelajar yang punya prestasi gemilang.
Kalau kita pedagang, kita juga harus menjadi pedagang yang terbaik. Bukan pedagang-pedagang kaleng-kaleng. Pedagang dengan hasil terbaik. Pedagang terbaik dalam siasat bisnis, tapi bulan pedagang dengan tipu muslihat.
Kalau kita jadi dokter, harus pula mempunyai kemampuan dan memberikan yang terbaik. Ilmu kesehatan dan penanganannya kita kuasai dengan standar tinggi dan pasien pun perlu layanan yang memuaskan.
Hanya dengan melakukan berusaha yang terbaik, kita menghormati Allah. Menggapai yang terbaik adalah wujud kita patuh dan tunduk kepada Allah.
Jangan salah, bukan Allah yang membutuhkan kita, tetapi kita yang membutuhkan Allah….”
Perekam kotbah itu tak menyangka Sang Tokoh dapat kotbah dengan baik. Meski demikian, dia tetap memposting dan meng-upload semuanya ke media sosial. Jika sebelumnya ingin mempermalukan Sang Tokoh, kini dia sekedar iseng belaka. Sudah terlanjur membuat rekaman, diapun menyebarluaskannya.
Tak disangka dan tak dinyana, postingan ceramah Sang Tokoh dalam sekejap viral. Secara bertahap, tetapi cepat, mencapai jutaan penonton. Rupanya video itu disenangi khalayak. Tak pelak, tak lama kemudian Sang Tokoh mendadak menjadi terkenal, bahkan sangat terkenal.
Sejak itu mulai berdatangan permintaan atau undangan. Mula-mula khusus untuk menjadi khotib. Kemudian berkembang permintaan jadi penceramah, pelatihan dan motivator. Penjelasan Sang Tokoh yang jelas, runtut, masuk akal dan relevan, membuat bahan kotbah atau ceramah dan kajiannya membetot perhatian banyak warga. Namanya semakin populer saja. Semakin banyak saja permintaan menjadi penceramah.
Permintaan wawancara juga terus meningkat, termasuk dari televisi dan radio. Sang Tokoh melayaninya semuanya apa adanya. Tanpa dibuat-buat dan dengan santai. Semua dijawab apa adanya, kecuali kemampuannya berbicara dengan binatang serta ingatan Sang Tokoh yang berubah drastis, tak diungkapkannya.
Teknologi dapat mengubah posisi seseorang sedemikian cepat. Lewat teknologi Sang Tokoh sejak menjadi Khotib telah berubah drastis. Dia menjadi figur terkenal. Menjadi buah bibir masyarakat dimana-mana. Padahal sebelumnya dia bukan siapapun, meski di sana-sini sudah juga makin dikenal masyarakat. Dengan teknologi, Sang Tokoh ditempatkan di tangga tinggi popularitas. Kesibukannya juga melonjak sangat luar biasa.
Dalam sejelas penghasilannya juga menggelembung. Uang mengalir bak air ke dalam pundi-pundinya.
Sering kali Sang Tokoh diundang dengan topik tertentu, tetapi dalam praktek acara tanya jawab yang ditanya jauh di luar topik. Sang Tokoh tak pernah menghindar. Dia menjawabnya semampunya.
Misalnya, sebenarnya, pada hari itu Sang Tokoh diundang oleh sebuah perkumpulan untuk bicara soal “Godaan di Perkawinan Zaman Modern,” tapi pada acara tanya jawab ada yang mengajukan pertanyaan yang menyimpang.
“Kenapa agama Islam turun di Arab?Apakah ini ada kaitannya dengan orang Arab pada waktu itu memang sadis, kejam dan kurang beradab,” tanya seorang pengunjung. Masih muda. Sang Tokoh dengan jelas melihat, penanya ini bukan ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya, tetapi ingin mencoba, bahkan ingin menjatuhkannya. Namun Sang Tokoh menanggapinya dengan tetap tersenyum.
Sang Tokoh menjelaskan: “Terus terang kenapa agama Islam turun di Arab, secara tepat saya sejujurnya tidak tahu. Hanya Allah Tuhan Pencipta Langit dan Bumi yang mengetahui sejatinya kenapa Islam turun di Arab.
Walaupun secara pemikiran, ijtihad, ada beberapa alasan. Sekali lagi ini cuma ijtihad , usaha menafsirkan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan kebenaran sejatinya cuma Allah yang mengetahui. Kebenaran senantiasa datangnya dari Allah, sedangkan kesalahan berasal dari manusia.
Dari pemikiran, dari ijtihad, kalau dikatakan agama Islam turun di Arab lantaran terkait bangsa Arab kala itu dipandang jahiliah, kejam dan tidak beradab, kurang tepat. Kenapa? Ada beberapa alasan.
Pertama, jika diteliti, pada zaman itu bangsa Arab bukanlah bangsa yang paling kejam di dunia.
Masih banyak di bagian belahan dunia ini yang bangsanya lebih kejam dari Arab. Beberapa negara di Eropa waktu itu masih menerapkan pertandingan dibunuh atau membunuh. Dua orang salah satu tangannya diikat dan digabungkan tangannya dengan lawan. Tangan satu lagi masing-masing diberi pedang. Lalu diadu bertanding: kalau tidak membunuh pasti dibunuh. Ini contoh yang sadis.
Kedua, di banyak bagian dunia lainnya kala itu masih banyak terjadi perbudakan. Jual beli budak. Pada zaman itu budak perempuan yang cantik dapat diperkosa majikannya tanpa punya hak apapun. Ini jelas lebih biadab dari bangsa Arab.
Ketiga, kalau memang Islam diturunkan terkait budaya dan karakter bangsa Arab, berarti belum tentu cocok untuk bangsa lain yang punya karakter berbeda dengan karakter bangsa Arab saat itu. Misalnya dengan budaya Indonesia yang lemah lembut. Saling tolol. Saling asah, asih dan asuh. Jadi kalau alasannya agama Islam hanya cocok buat bangsa Arab saja, menjadi tidak atau kurang cocok buat bangsa Indonesia. Padahal Islam kan universal. Cocok untuk seluruh dunia. Dengan begitu, alasan ini juga tidaklah kuat.”
Sang Tokoh menarik nafas dalam-dalam. Dia memperhatikan penanya tadi. Kemudian memperhatikan sekeliling. Rupanya yang hadir masih terus antusias mengikuti jawabannya.
Sang Tokoh melanjutkan penjelasannya: “Indonesia menyebut daerah Arab dengan sebutan Timur Tengah.
Baik orang Eropa maupun orang Amerika menyebut daerah Arab, sama dengan sebutan ada unsur ‘tengahnya.’
Coba ambil globe atau bola dunia. Juga Google. Perhatikan baik-baik. Coba lihat dimana letak jazirah Arab? Ternyata dilihat dari belahan bumi manapun, Arab terletak di tengah-tengah dunia! Apa artinya ini? Baik dari segi sosiologis, matematis dan ekonomis ajaran yang terletak di tengah-tengah dunia, penyebaran menjadi paling mudah dan dan dapat cepat menyebar ke semua arah dunia. Dari Sana Islam kemudian berkembang kemana-mana kemana-mana.
Maka perkembangan penyebaran Islam menjadi meluas dan cepat, termasuk ke Indonesia.
Coba jika agama Islam turun di kutub selatan yang dingin dan terpencil, bagaimana penyebarannya ? Pasti sangat sulit dan lama.
Nah, itu cuma salah satu alasan geografis, sosiologi, ekonomis, dan matematika kenapa Islam turun di Arab. Penyebaran yang sangat mudah kemana-mana. Ijtihad ini sampai sekarang merupakan salah satu yang paling logis. Namun apakah itu alasan sebenarnya dan alasan yang tepat, cuma Allah yang Maha mengetahui jawabannya.”
Penjelasan ini tanpa diduga memperoleh tepukan tangan dari yang hadir. Semuanya merasa mendapat pencerahan dan semang. Di media sosial bagian tanya jawaban soal ini ini rupanya tayangan juga. Hanya beberapa hari tayang, membuat pengikut Sang Tokoh sudah bertambah menjadi jutaan.
Nama Sang Tokoh pun semakin melambung. Dia dalam waktu singkat semakin dikenal. Semakin dikagumi. Sang Tokoh telah menjadi manusia spesial. Bukan manusia biasa lagi.(Red)