Penulis: Muhamad As’ari*
Pendidikan di Banten sekarang ini masih sangatlah rendah, baik di pemerataan sekolah, peralatan yang kurang memadai, serta akibat dari faktor ekonomi yang kurang mencukupi. Dengan adanya biaya pendidikan, masyarakat yang tidak mampu sangatlah tercekik,dikarenakan harus membayar biaya operasional sekolah.
Maka dari itu, Pemerintah Provinsi Banten (Pemprov) ingin mewujudkan salah satu program kerjanya yaitu dengan diadakannya pendidikan gratis. Hal ini dimaksudkan untuk menutupi keterbatasan masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya dan meningkatkan pendidikan di Banten agar lebih berkembang pesat.
Berdasarkan peraturan gubernur no. 31 tahun 2018 Pemerintah Provinsi Banten telah menggratiskan biaya pendidikan SMAN, SMKN, dan SKh Negeri berbentuk Biaya Operasional Sekolah Daerah (Bosda), dengan tujuan gubernur ingin menepati janji atau pernyataan saat kampanye pilkada salah satunya menekankan pendidikan di Banten agar menjadi lebih bermutu.
Melalui adanya pendidikan gratis merupakan hal yang sangat baik, terlihat dari pergub tersebut dengan isi dan tujuan yang sangat menarik untuk kemajuan sektor pendidikan di Banten, dengan harapan, masyarakat tidak merasa terbebani lagi karena soal biaya.
Akan tetapi sangat disayangkan sekali, dalam pengimplementasian pendidikan gratis di Banten ini masih kurang maksimal bahkan bisa dibilang gagal. Mengapa demikian, pendidikan gratis ini sebenarnya belum terealisasikan sepenuhnya bahkan dalam kurun waktu hampir dari 3 tahun masih tidak sesuai target yang seharusnya, hanya di tahun 2019 Bosda cair untuk per siswa sebesar 4 juta rupiah dimana anggaran seharusnya itu 5,5 juta per siswa itupun di duga cair akibat dari desakan sekolah-sekolah kepada Pemprov Banten.
Dalam pengalokasian Bosda tahun 2020 penganggaran Bosda tidaklah semestinya, karena perhitungannya tidak berdasarkan jumlah siswa, melainkan dari jumlah guru dan tenaga honorer no ASN, hal ini sesuai dengan pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) Al Muktabar, bahwa pengalokasian dana Bosda dirubah dari banyaknya jumlah siswa menjadi jumlah guru dan tenaga honorer no ASN.
Tidak hanya itu Pemprov Banten hanya mengakomodir 2 dari 14 item, yakni dana Bosda hanya diperuntukan untuk gaji guru dan staf honorer. Hal ini jelas menabrak Pergub, dimana seharusnya pemerintah tidak mengubah pengalokasian dana tersebut. Padahal sudah jelas dalam Pergub 31 Tahun 2018 pada pasal 14 huruf (e) perhitungan dana Bosda pada dasarnya adalah sesuai dengan jumlah siswa sama seperti Bosnas (Biaya Operasional Sekolah Nasional).
Kepala sekolah kini kebingungan dengan hal tersebut karena biaya yang diperuntukkan kegiatan sekolah tidak mencukupi, dana Bosnas yang turun sebesar 1,6 juta per siswa pun tidak cukup untuk perbaikan ruang kelas yang rusak, pembelian Alat tulis kantor (ATK), pembelian peralatan utuk kegiatan ekstrakulikuler dan biaya keperluan lainnya.
Oleh karena itu sangat sulit jika hanya mengandalkan dana Bosnas. Di sisi lain, Pergub melarang sekolah untuk menarik dana dari orang tua siswa, karena pendidikan gratis ini dimaksudkan untuk membebaskan dari pungutan biaya operasional sekolah, dalam arti masyarakat yang memang benar-benar pincang akan ekonomi keluarganya.
Adapun Pasal 32 dalam Pergub tersebut yang membolehkan melibatkan dana masyarakat secara sukarela, namun hanya sedikit yang memiliki empati bahkan tidak sadar bahwasannya pendidikan gratis sekarang membutuhkan dana yang cukup agar terlaksananya kegiatan sekolah yang semestinya.
Kepala sekolah meringik akan hal itu sejak dihapuskannya bosda untuk kegiatan sekolah, karena jika dana yang diturunkan dari Bosnas sudah habis dan belum cair maka harus mencari pinjaman dana talangan. Salah seorang pengurus Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) sekolah kejuruan mengatakan, banyak sekolah yang terjerat hutang kepada rentenir, karena biaya listrik, air dan internet harus dibayar setiap bulannya, hal inilah yang menyulitkan pihak sekolah.
Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan kondisi seperti ini agar memahami apa yang dirasakan oleh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini.
Masyarakat di Banten sangatlah gelisah terhadap pelaksanaan pendidikan gratis ini, lantas apa yang disuarakan gubernur Banten dalam menekankan pendidikan tidak berjalan semestinya, tidak sesuai harapan dan tidak mencapai target.
Lalu apa upaya pemerintah dalam menangani biaya untuk pendidikan gratis ini? Masyarakat menilai belum ada upaya realisasi penanganan ini oleh pemprov. Akan tetapi dimasa pandemi ini, justru pembangunan infrastruktur Sport Center lebih diutamakan, yang dananya merupakan pinjaman dari Pemulihan Ekonomi Nasional(PEN), bahkan tidak membawa dampak yang baik untuk pemulihan ekonomi dimasa pandemi ini.
Sedangkan pendidikan gratis yang bisa dibilang penting dan sekarang sedang terombang-ambing karena ketidak sesuaiannya dengan Pergub malah tidak didahulukan.
Maka dari itu, dari banyak nya hal tersebut, upaya pemprov dalam penanganan pendidikan gratis di Banten ini bisa dibilang kurang maksimal bahkan gagal.
Seharusnya jika memang Pemprov Banten belum mampu membiayai pendidikan gratis, tidak perlu memaksakan diri, apalagi terus menerus membangun citra dan opini tentang pendidikan gratis sedangkan pengimplementasiannya tidak relevan. Maka dari itu lebih baik Pergub Banten No.31 Tahun 2018 diubah dan disesuaikan pada Pasal 32, dimana Sekolah boleh meminta dana swadaya dari masyarakat pada batas maksimal yang dapat ditentukan dalam Pergub tersebut, terkecuali untuk siswa yang benar-benar tidak mampu.
Kalaupun Pemprov Banten masih bisa menghadapi situasi seperti ini alangkah baiknya pertimbangkan lagi yang matang. Dan semestinya kepala sekolah juga tidak harus mengandalkan dana Bosnas saja, karena mungkin perlu arahan kepada orang tua agar mengerti situasi dan konndisi sekarang yang butuh melibatkan dana swadaya untuk terlaksananya pendidikan yang layak.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa