Bantenkini.com Jakarta, Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik Karyono Wibowo turut mencermati kasus gagal ginjal akut yang saat ini sedang di usut oleh POLRI dan BPOM RI. Peneliti yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) juga menyoroti adanya “Manuver” Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Gagal Ginjal Akut.
Karyono sangat mengapresiasi kerja cepat BPOM dan Polri dalam menelusuri dan mengungkap penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak-anak. Terutama yang disebabkan oleh ditemukan adanya cemaran EG dan DE dalam obat sirup yang diproduksi oleh 5 produsen obat-2an yang lalai melakukan pengawasan kualitas (quality control) terhadap produk mereka.
“Kita percaya bahwa BPOM berkerja dan bertindak dengan sangat profesional sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku baik secara nasional maupun internasional. Hal itu terkonfirmasi bagaimana BPOM sangat hati-hati dan berbasis ilmu pengetahuan. Terbukti dalam pengambilan keputusan yang tidak jarang berada dibawah tekanan terkait dengan klaim obat-obatan maupun vaksin Covid 19 oleh pihak-pihak yang ingin mengambil jalan pintas dan keuntungan selama Pandemi Covid 19, namun BPOM tetap memegang teguh pada aturan yang berlaku,” kata Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik, Karyono Wibowo melalui pernyataanya, Senin (5/12)
Lebih lanjut kata Karyono, pada sisi lain pihaknya sangat menyayangkan sekali kenapa Kemenkes tidak menetapkan kasus gagal ginjal akut pada anak-anak ini sebagai Kejahatan Luar Biasa (KLB). Sedangkan kasus Polio yang hanya beberapa orang saja langsung ditetapkan status KLB.
“Hal ini tentunya membuat publik curiga ada apa dengan Kemenkes yang belakangan ini sangat sibuk melobi banyak pihak terkait dengan RUU Omnibus Kesehatan yang kabarnya ingin mengambil alih peran dan fungsi BPOM maupun Organisasi Profesi Kesehatan dan BPJS Kesehatan lainnya dengan berbagai dalih,” jelas Karyono.
Karyono Wibowo juga menyoroti manuver BPKN yang sepertinya melangkah keluar dari tupoksinya (sesuai dengan PP No.57 tahun 2001) yaitu dengan membentuk Tim Pencari Fakta. Mereka diduga mempunyai agenda terselubung untuk mengalihkan tanggungjawab dari Kemenkes dan industri pelaku usaha (pemasok dan produsen) ke BPOM. Terkait dengan kasus gagal ginjal akut pada anak-anak ini.
Kata Karyono, manuver ini seakan bentuk ketidakpercayaan kepada institusi BPOM dan Polri. Karena dari hasil penelusuran dan temuan BPOM dan Polri yang bergerak cepat, sudah teridentifikasi bahwa ada 1 supplier bahan kimia yang sengaja memalsukan dan mengoplos pelarut yang mengandung EG dan DEG kemudian menjualnya kepada
beberapa industri obat yang diduga melakukan kelalaian dengan tidak melakukan pemeriksaan bahan baku.
“Bahan pelarut terlebih dahulu sebelum digunakan untuk memproduksi obat sirup anak-anak. Padahal aturan untuk melakukan kendali kualitas atau quality control sudah jelas dipersyaratkan oleh BPOM ketika mereka diberikan sertifikat CPOB dan izin edar obat,” tutur Karyono menjelaskan.
Karyono sangat mengherankan pihak PBKN melalui Tim 9 yang dibentuk tidak mendalami kenapa Farmakope Indonesia yang kewenangan penuhnya ada di Kemenkes justru tidak mengatur kewajiban pemeriksaan cemaran EG dan DEG pada produk jadi? Banyak pihak mempertanyakan manuver BPKN ini dengan tidak meminta pertanggungjawaban kepada pihak industri pelaku.
“Asosiasi perusahan farmasi yang dikenal sebagai Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) yang sampai saat ini belum pernah menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian anggotanya sehingga menyebabkan terjadinya kasus gagal ginjal akut pada anak-anak ini. Sangat terlihat sekali GP Farmasi bungkam dan berusaha melindungi anggotanya yang melakukan kelalaian fatal,” beber Karyono.
Karyono menjelaskan, jangan sampai ini semakin menguatkan adanya mafia kesehatan yang berlindung dibalik regulasi yang diciptakan oleh lembaga negara seperti Kemenkes. Diimana regulasi kasus EG dan DEG sampai kasus ini memakan korban meninggal hingga 190 orang tidak jelas arahnya dan faktanya. Kata Karyono, dirinya mempertanyakan siapa yang bermain dengan industri farmasi dan dirjen Farmalkes dibawah Kemenkes yang juga punya tanggungjawab besar dalam hal ini justru bungkam 1000 bahasa.
“Pertanyaan mendasar justru harus dijawab oleh Kemenkes terkait dengan tidak kunjung adanya UU Pengawasan Obat dan Makanan yang mana Presiden Jokowi sendiri sudah sangat tegas mengatakan pada Oktober 2017 bahwa BPOM harus diperkuat dengan UU sehingga bisa melakukan pengawasan dengan efektif dan menyeluruh. Ada apa dengan Kemenkes kita ini,” tutup Karyono. (Nanang)