Terpapar Covid, Perlukah Pesantren Ditutup?

0
105 views

Bupati Kuningan, Jawa Barat, Acep Purnama, mengeluarkan surat perintah penutupan Pesantren Husnul Khatimah. Apalagi kalau bukan karena adanya 46 santri di pesantren tersebut yang terkonfirmasi positif Covid-19. Pesantren yang berlokasi di Kecamatan Jalaksana, memiliki lebih dari 3000 santri yang datang dari berbagai daerah.

Pengasuh Pesantren itu menjelaskan dalam press release, bagaimana upaya maksimal yang telah ditempuh pesantren untuk mencegah penyebaran di wilayahnya. Di antaranya kedatangan santri bergelombang dengan screening ketat. Tes rapid bagi santri, dan tes swab bagi guru dan karyawan. Tapi apa daya, ikhtiar telah dijalankan. Jika terjadi juga mereka hanya bisa pasrah dan berserah.

Perlukah pesantren itu ditutup saat ada sebagian kecil santrinya terkonfirmasi positif? Apakah merumahkan santri yang sehat menjadi langkah yang tepat di saat angka yang terpapar di luar pesantren semakin tajam? Mari kita lihat.

Pesantren memang menjadi salah satu kekhawatiran banyak kalangan di tengah pagebluk yang belum berakhir. Keputusan para pengasuh pesantren membuka kegiatan belajar tatap muka, menjadi pertaruhan bagi pesantren itu sendiri. Bagaikan melempar dadu. Keberanian para kiai untuk membuka pesantren juga didasari oleh sikap pemerintah yang menyerahkan sepenuhnya kepada pesantren. Satu sisi bisa jadi menjadi tempat yang aman untuk mengisolasi diri. Sisi lain bisa menjadi cluster penyebaran Covid-19.

Survey Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) Nahdhatul Ulama, mengenai pandangan pesantren terhadap pandemi ini menunjukan usaha serius pesantren mengatasi pandemi. Hasilnya, 60% pesantren percaya adanya covid lalu berupaya sekuat tenaga mencegah penyebarannya. 30% percaya dengan pandemi, tapi tidak berdaya karena keterbatasan sarana dan pengetahuan. Sedangkan kelompok kecil, 10% tidak percaya dengan pandemi dan menganggapnya sebagai hoaks dan konspirasi.

Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pesantren, merilis data pesantren yang terpapar Covid. Sebanyak 20 pesantren di 9 Provinsi terkonfirmasi Covid. 1015 santri Positif. 960 dinyatakan sembuh. 75 dalam perawatan dan nol kasus santri yang meninggal karena Covid. Data itu dirilis pada 17 September 2020 saat webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan lewat Direktorat Promosi Kesehatan.

Dari jumlah pesantren yang terpapar Covid-19 di atas, respon aparatur negara pada masing-masing wilayah beragam. Sebagian besar membantu pesantren mengatasi yang terpapar dan bersama-sama menekan angka penyebaran di lingkungan pesantren. Jika ada konfirmasi santri yang terjangkit, lebih banyak pemerintah yang percaya pesantren mampu mengatasi dan tidak lantas memerintahkan untuk ditutup.

Memang ada perbedaan kebijakan pada masing-masing daerah. Lebih banyak aparat yang membantu dan tidak ‘membubarkan’ santri untuk kembali ke rumah. Dalam kasus di Kuningan pemerintah kabupaten Kuningan Jawa Barat, memerintahkan untuk ditutup sampai waktu yang belum ditentukan. Santri yang sehat diwajibkan kembali ke rumah masing-masing. Santri yang terjangkit diisolasi di rumah sakit dan pesantren disterilkan.

Tentunya keputusan ini menjadi pukulan telak bagi keluarga besar Pesantren Husnul Khatimah. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, pesantren itu sudah mematuhi semua standar protokol kesehatan. Namun saat pertahanan mereka jebol juga, respon yang diambil aparat adalah langsung menutup. Tentunya menambah derita bagi pesantren.

Jika kita mendalami lebih jauh, pesantren itu berbeda dengan pabrik, kantor, atau mall yang penghuninya pergi pulang setiap hari. Pesantren modern khususnya, adalah area terisolir dari dunia luar. Biasanya dipagari dengan tembok disekeliling pesantren. Santri dan guru tinggal di dalamnya selama 24 jam. Ada aturan yang ketat untuk keluar masuk pesantren. Apalagi dimasa pandemi ini. Orang tua dilarang datang berkunjung.

Lalu, ketika pesantren tersebut terpapar, kemudian aparat mengambil tindakan tegas dengan menutup aktifitas pesantren, mewajibkan santri pulang ke rumah, bukankah kebijakan itu malah kontraproduktif. Merumahkan ribuan santri sama saja potensi menambah jumlah kasus, sebab serapat-rapatnya rumah tidak seketat kehidupan santri di pesantren. Dan perintah untuk menutup pesantren adalah langkah yang fokus pada masalah, bukan memberinya solusi. Apalagi data menunjukan fasilitas kesehatan milik pemerintah tidak sebanding dengan jumlah pasien yang perlu perawatan. Ujung-ujungnya diisolasi di rumah masing-masing.

Pengasuh pesantren di wilayah Kuningan itu sendiri memastikan bahwa sebenarnya orang tua lebih ingin anaknya berada di pesantren. Sebab kehidupan di luar pesantren jauh lebih mengerikan, tidak hanya virus corona, tapi juga virus-virus lain yang dapat merusak tumbuh kembang anak. Jika kemudian pesantren tempat anak mereka ada yang terpapar, mereka percaya pesantren bisa mengatasi. Artinya, isolasi di pesantren lebih baik daripada di rumah. Apalagi pihak pesantren kooperatif dengan aparat dalam menanganinya. Dengan kerja sama yang baik antara pihak pesantren dan aparat akan dapat menekan penyebaran kasus.

Keberadaan pesantren di tengah pandemi ini sepatutnya disyukuri. Sebab dapat membantu program pembatasan sosial berskala besar di mana jumlah santri saat ini menembus angka dua juta. Lebih dari itu, santri-santri mendapatkan pendidikan dan pengajaran sebagaimana mestinya. Apalagi data RMI di atas menunjukan lebih banyak pesantren yang siap dan sigap. Sebelum ada kasus terjadi, pesantren sudah mengantisipasi dengan membentuk satgas, menyiapkan strategi jika benar-benar terjadi. Sebagai jaminan santri aman orang tua nyaman.

Belum ada kata terlambat sebelum bertambah kasus yang harus diperhatikan oleh pihak pesanten dan aparatur pemerintah. Bagi pesantren sendiri hendaknya dapat mengukur diri. Sebagai tempat di mana kerumunan tak bisa dihindari, pesantren harus sigap dan siap dengan benar-benar mematuhi protokol kesehatan. Mengurangi aktifitas yang menguras energi santri. Memastikan kebutuhan konsumsi tercukupi dan yang paling penting memperkuat iman untuk berserah diri.

Pemerintah hendaknya bijak sebelum mengambil keputusan. Setidaknya, sebelum kasus bertambah hendaknya melakukan supervisi kelayakan pesantren. Standar-standar yang harus ada bukan hanya ketersediaan sarana penunjang protokol kesehatan saja, tapi melihat kelayakan sarana dan lingkungan pesantren jika ada santri yang terjangkit. Jadi, jangan hanya bergerak saat ada masalah, tetapi sebelum masalah itu muncul hendaknya mengambil langkah-langkah antisipasi sehingga dapat dijadikan peringatan dini demi kebaikan pesantren itu sendiri. Mengingat ada banyak kebaikan pesantren di tengah pandemi. Akhirnya, pesantren sebagai salah satu aset bangsa harus dijaga dan diperhatikan. Di saat sekolah, guru, dan siswa berkutat pada masalah saat belajar dari rumah, ada baiknya pemerintah mengandalkan pesantren sebagai satu-satunya tempat yang mewakili kenormalan belajar. Seperti falsafah hukum yang diajarkan di pesantren: ma la yudrak kulluh la yuthrak kulluh (jika tak mampu menjangkau semua, jangan ditinggalkan seluruhnya). || Artikel ini pernah dimuat di media online Panji Masyarakat

Penulis: Saeful Bahri adalah Alumni dan guru Pondok Pesantren Daar el Qolam, Tangerang, Banten. Pernah belajar di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Universitas Indonesia, dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Selain mengajar di almamernya, ia juga menulis beberapa buku di antaranya Lost in Pesantren (2017), 7 Jurus Betah di Pesantren (2019), yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here