BANTENKINI.COM, JAKARTA – Keprihatinan nasional tentang polarisasi masyarakat menjelang Pemilu 2024 menuntut kita untuk menjalin dan memperkuat kembali spirit dan ikatan persatuan sesama anak bangsa. Demikian diungkapkan Pemikir Kebinekaan, Sukidi, dalam Lecture Series 3 yang diselenggarakan Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (28/6/2022).
Doktor lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat, menilai penting ikatan persatuan karena itu terbukti mampu membuat bangsa Indonesia bertahan dan tumbuh kuat sebagai bangsa yang bersatu. “Inilah warisan dan pesan penting dari para pendiri bangsa yang perlu kita tegakkan kembali saat ini,” tegasnya.
Bagi Sukidi, masyarakat perlu memahami bahwa tegaknya Indonesia sebagai bangsa yang bersatu tanpa tercerai berai karena didirikan oleh para pendiri bangsa yang memiliki spirit persatuan dan kesadaran kebinekaan yang berakar kuat pada sejarah Republik. Spirit inilah yang terbukti ampuh dalam mempersatukan masyarakat kita di tengah kebinekaan Indonesia.
Sayangnya, “kebinekaan,” kata Sukidi “saat ini seringkali dimaknai sebagai sumber ketegangan, konflik, dan permusuhan.” Padahal, keragaman agama, ras, dan suku seharusnya menjadi kekayaan dan modal sosial untuk memajukan bangsa, bukan justru menjadi alasan untuk mencaci maki dan menghardik satu sama lain.
Bagi Kader Muhammadiyah itu, kebinekaan harus dipandang sebagai rahmat Tuhan yang harus dirawat dan disyukuri bersama. “Ini solusi yang saya tawarkan,” katanya. Sebab, jika kebinekaan tidak dijaga dengan baik dapat menjelma sebagai kutukan yang melahirkan kerusakan.
“Kebinekaan bisa menjadi kutukan kalau perbedaan agama justru akhirnya menjelma menjadi ketegangan, sumber intoleransi, dan sumber persekusi,” ujarnya.
Padahal seharusnya, kebinekaan, terutama perbedaan agama, bisa juga menjadi rahmat atau berkah yang menjadi sumber terciptanya harmoni, sekaligus memperkuat jalinan ikatan di antara sesama warga bangsa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Dengan kata lain, agama seharusnya menjadi sumber belas kasih (compassion), bukan faktor yang dapat memecah belah umat. Iman yang benar selalu paralel dengan persatuan dan kecintaan kepada Tanah Air karena Pancasila yang disepakati bersama telah selaras dengan nilai-nilai inti agama. “Ini harus terus digelorkan agar semua warga negara dari berbagai latar belakang agama, etnis dan suku bekerja sama untuk membangun Indonesia,” tegasnya
Bagi Sukidi, perintah untuk merawat kebinekaan merupakan amanah Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci umat Muslim bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar dapat saling mengenal dan menghargai satu sama lain. “Pesan Tuhan itu bunyinya, li taarafu, in order for you to kwon one another. Untuk mengenal satu sama lain,” tegasnya. “Jadi, bukan untuk saling membenci atau saling menebar hoaks.” Tetapi untuk membangun harmoni.
Karena telah menjadi hukum Tuhan, masyarakat mesti menerima kebinekaan dengan sikap positif dan optimis. Optimisme dalam memandang kebinekaan sangat penting karena dapat menjadi modal sosial untuk membangun negeri. Dengan spirit kebinekaan, setiap warga bukan hanya dituntut untuk saling mengenal satu sama lain, melainkan harus bersedia terlibat aktif dan bergotong royong untuk membenahi berbagai persoalan kebangsaan, terutama menghilangkan rasa curiga dan benci terhadap yang lain serta memutus mata rantai hoaks di masyarakat.
“Kesediaan untuk terlibat aktif sangat penting dalam menegakkan kebinekaan,” ungkapnya. Apalagi, dengan menyitir pendapat Bung Karno, partisipasi aktif semua warga negara akan mampu mengikis egoisme bernegara.
Sukidi meyakini, tegaknya persatuan di tengah kebinekaan hanya mungkin terjadi karena karakter utama para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai agama, etnis, dan asal-usul yang berbeda. Hal ini perlu untuk digelorakan terus menerus agar warga negara dan para pemimpin sekarang memiliki kesadaran penuh untuk menjiwai spirit dan warisan luhur para pendiri bangsa.
Dalam Kuliah Umum bertajuk “Menegakkan Persatuan dalam Kebinekaan” itu hadir pula Kepala Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Hassan Wirajuda, sebagai penanggap. Diskusi dimoderatori oleh A. Puspo Kuntjoro, pengajar di Universitas Prasetiya Mulya.