Oleh : Sabby Kossay )*
Organisasi Papua merdeka (OPM) adalah kelompok separatis yang tak segan menembak warga sipil di Bumi Cenderawasih. Bahkan mereka juga berani menyerang anaggota TNI. Masyaraskat pun mengutuk Kekejaman OPM karena semakin meresahkan. Aprarat keamanan diminta meningkatkan pengamanan di Papua, utamanya menjelang ulang tahun OPM 1 desember ini.
Perdamaian di Papua terusik ketika ada anggota OPM yang nekat melukai anggota TNI, di Distrik Sugapa, Intan Jaya, tanggal 6 november lalu. Mereka menembaki aparat lalu melarikan diri. Masyarakat sudah lelah karena OPM berkali-kali melakukan hal yang sama dan meneror warga.
Dalam peristiwa tersebut, Pratu Firdaus Kurniawan gugur dalam tugas, sementara 2 orang rekannya luka-luka. Hal ini diungkapkan oleh Komandan Korem 173/PVB Brigjen Iwan Setiawan. Selain 2 anggota TNI yang luka, ada juga warga sipil yang jadi korban penembakan.
Sebby Sambom menyatakan bahwa dalam penembakan tersebut, yang bertanggungjawab adalah OPM dan TPNPB. Pria yang merupakan juru bicara TPNPB (tentara pembebasan nasional Papua Barat) beralasan bahwa penembakan dilakukan karena para anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil Papua, sehingga mereka melindunginya.
Namun pembelaan Sebby hanya alibi tak berdasar. Karena TNPB bukan bertujuan untuk melindungi, namun menyerang TNI yang sedang mencari keberadaan para separatis. Mereka tak terima jika ditangkap dan dianggap pemberontak, karena menurut TPNB dan OPM, negara yang sah adalah Papua Barat, bukan Indonesia.
TNPB memang memiliki tradisi turun gunung jelang ulang tahun OPM tanggal 1 desember. Mereka tak hanya menampakkan diri untuk mempromosikan gerakan papua merdeka, namun juga menebar teror. Tak peduli kepada pendatang maupun sesama warga asli Papua. Semua ditakut-takuti dengan senjata api yang mereka miliki.
Penjagaan di seluruh wilayah Papua memang diperketat jelang 1 desember. Diadakan sweeping di mana-mana dan jangan sampai ada yang ketahuan mengibarkan bendera bintang kejora atau membawanya di dalam tas. Karena bendera Papua Barat itu terlarang dan merupakan simbol kaum separatis.
OPM memang selama ini ngotot ingin berpisah dari Indonesia. Menurut mereka, pemerintah Indonesia selalu menganaktirikan Papua, dan hanya membangun wilayah Jawa. Padahal tuduhan mereka salah besar, karena di era Presiden Jokowi, Papua sangat diperhatikan. Dengan keistimewaan pada otonomi khusus.
Jokowi juga tercatata sebagai Presiden yang paling sering mengunjungi Bumi Cendrawasih. Bahkan beliau langsung mencoba Jalan Trans Papua dengan motor trail, ketika meresmikannya. Sejak awal menjabat presiden pada periode pertama, beliau memang ingin fokus memajukan Papua dan meratakan pembangunan di wilayah timur Indonesia.
OPM jangan menutup mata pada fakta ini. Ketika ada pembangunan di Papua berkat kucuran dana otsus, maka mereka tak boleh menuduhnya pencitraan. Karena sudah ada banyak bukti nyata seperti Bandara Internasional Sentani yang dibangun dengan sangat indah.
Oleh karena itu, seharusnya mereka paham dan menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Jika menghentikan aksi teror dan memilih bergabung dengan NKRI, akan disambut dengan senang hati. Karena percuma saja gerilya masuk keluar hutan tapi tidak mendapat apa-apa, hanya kelaparan dan punya masa depan yang tidak jelas.
Warga Papua juga wajib waspada akan bujuk rayu OPM. Jangan sampai ada yang mau bergabung dengan alasan jika jadi anggota separatis akan terlihat macho. Pahamilah sejarah bahwa OPM adalah pemberontak yang melanggar hukum dan selalu membuat onar.
Jangan pula ada yang mengibarkan bendera bintang kejora tanggal 1 desember mendatang. Karena sama saja mereka tidak mengakui pemerintahan Indonesia dan bisa dituduh sebagai simpatisan OPM. Papua adalah bagian dari Indonesia dan tidak ada yang namanya negara federal Papua Barat.
Di Papua, kewaspadaan ditingkatkan setelah ada peristiwa penembakan terhadap anggota TNI. OPM yang mengakui tindakan tersebut hanya bilang kalau bertanggungjawab tapi tidak mau minta maaf secara jantan. Warga Papua juga diminta untuk tidak memihak OPM karena mereka hanya segelintir kaum separatis.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta