BANTENKINI.COM, JAKARTA – Pada Kamis (12/5) pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Aceh dihentikan dan dibongkar paksa oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Peristiwa memilukan juga dirasakan oleh umat Katolik di Bekasi yang menghadapi kesulitan selama bertahun-tahun untuk mendirikan gereja. Lebih memprihatinkan lagi, perusakan dan pembakaran rumah ibadah juga menimpa berbagai agama di Indonesia. Sederet fakta memilukan itu menjadi tantangan nyata dalam membangun integrasi sosial di Indonesia.
Demikian diungkapkan Kader Muhammadiyah, Sukidi, dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah & Aisyiyah ke-48 dengan tajuk “Kerja Sama Antar-Iman dan Integrasi Sosial” yang dilangsungkan di Universitas Muhammadiyah Kupang, Rabu (25/5).
Berbicara pada sesi pertama, Sukidi memulai dengan memaparkan berbagai peristiwa memilukan itu untuk menunjukkan ancaman nyata bagi terwujudnya integrasi sosial di negeri ini. Sebagai bangsa yang selama ini dikenal toleran, peristiwa memilukan itu merefleksikan fenomena toleransi yang rapuh (fragile toleration) di antara warga bangsa dan umat beragama di Indonesia. “Fragile toleration itu lahir akibat ketidakmampuan satu sama lain untuk bertenggang rasa, bukan hanya kepada mereka yang berbeda agama, tetapi juga kepada penganut agama yang sama,” tegasnya.
Alumnus Universitas Harvard itu mengajukan lima ikhtiar untuk mewujudkan integrasi sosial yang diharapkan dapat mewujudkan harmoni dan kerukunan di tengah kebinekaan.
Ikhtiar pertama ialah toleransi yang otentik. Sukidi mengingatkan kita pada pesan Nabi Muhammad, “Ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyyah al-samhah (Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan lapang).” Menurut Sukidi, hadis di atas menegaskan sebuah ajaran bahwa Islam mengajak umatnya untuk menegakkan toleransi yang otentik.
Pemikir Kebinekaan itu menjelaskan, umat Islam harus memberikan toleransi yang genuine, yang otentik, bukan toleransi yang rapuh dan mudah retak. Menurutnya, toleransi harus berangkat dari satu ketulusan untuk memberikan respek yang penuh bukan hanya kepada umat Islam, melainkan juga kepada umat agama lain.
Namun, Sukidi mengingatkan, toleransi tidak memadai sebagai fondasi yang kokoh dalam membangun masyarakat yang majemuk. Toleransi harus diiringi dengan kesetaraan, yang menjadi harapan ideal dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. “Yang kita butuhkan untuk membangun Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip dasar kesetaraan,” tegasnya.
Oleh karena itu, Sukidi mendorong umat Islam untuk bergerak ke sikap yang egaliter, terbuka, dan dialogis dalam menyikapi setiap ekspresi agama dan keyakinan yang satu sama lain berbeda. Apalagi dalam kesempatan Pidato Haji Wada’, Nabi Muhammad menegaskan bahwa darah, harta, dan kehormatan adalah suci, dan karena itu harus diproteksi.
Ikhtiar kedua ialah kesetaraan. Sukidi menegaskan, kita harus menjiwai prinsip kesetaraan yang memandang bahwa semua warga dan umat beragama adalah setara, sebagai bekal untuk hidup berdampingan secara harmonis. Karena itu, berbagai perbedaan yang menjadi fakta sehari-hari tidak boleh menjadi alasan untuk saling membenci, menghardik, dan merendahkan, melainkan harus mendorong setiap insan untuk saling mengenal dan bekerja sama satu sama lain dalam amal kebajikan.
Ikhtiar ketiga ialah kehendak untuk mengakui yang lain secara setara. Menurut Sukidi, kebinekaan menuntut setiap warga bangsa untuk tidak sekadar mengenal, melainkan juga mengakui yang lain secara setara. Pengakuan yang setara ini, menurut Sukidi, menjadi prinsip dasar yang diletakkan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Dalam tradisi Islam, jaminan akan kesetaraan manusia telah ditegaskan melalui pesan Tuhan bahwa semua hamba adalah setara, yang membedakan kedudukannya ialah ketakwaan.
Ikhtiar keempat ialah sikap rendah hati. Menurut Sukidi, untuk menumbuhkan integrasi sosial diperlukan hadirnya sikap rendah hati dalam diri manusia. “Kita harus bersikap rendah hati kepada mereka yang berbeda dari kita dan membuka peluang untuk orang lain benar dan kita salah,” tandasnya. Sikap rendah hati ini, Sukidi menambahkan, menjadi pedoman untuk hidup dalam kemajemukan.
Ikhtiar kelima ialah sikap memberikan respek satu sama lain (mutual respect). Menurut Sukidi, integrasi sosial hanya bisa terwujud melalui sikap respek terhadap satu sama lain. Kita harus menjiwai prinsip dasar kesetaraan bahwa setiap manusia adalah setara. “Sikap respek inilah yang pudar dalam kehidupan berbangsa akhir-akhir ini,” tegasnya.
Bagi Sukidi, kelima fondasi yang diuraikan di atas menjadi kunci untuk menegakkan integrasi sosial yang mengantarkan warga dan umat Indonesia untuk hidup harmonis dan rukun dalam sebuah ikatan kebangsaan.