Berhenti Belajar Berhenti Mengajar: Mengenang Malik Fadjar

0
728 views

Sebuah sedan berkelir hitam melintas memasuki pintu gerbang sebuah pesantren di bilangan Tangerang, Banten Kendaraan itu melaju pelan menyusuri komplek pesantren. Melewati asrama dan ruang belajar santri. Sesaat kemudian mobil itu berbelok ke kanan melewati dua lapangan bola yang dikelilingi pohon-pohon cemara yang menjulang ke langit.

Pria yang duduk di belakang pengemudi membelalakan kedua bola matanya. Tak henti memandang ke kiri dan ke kanan. Sesekali mengangkat tubuhnya yang gempal, meninggikan posisi duduknya. Agar objek yang ia pandang terlihat jelas. Sampai ia tak sadar mobil yang ia tumpangi tak lagi berherak.

Pria itu bergegas turun dari mobil yang telah membawanya dalam perjalanan panjang yang cukup melelahkan, Jakarta-Rangkasbitung. Lalu singgah di ujung Tangerang. Sejurus kemudian kedua kakinya menginjak bumi, seraya mengumbar senyuman renyah kepada tuan rumah yang menyambutnya di mulut pintu.

Belum sepatah kata keluar dari mulut tuan rumah. Pria dengan rambut ikal yang seluruhnya hampir putih itu mengangkat kedua jempolnya.

“Hebat Pak Kiai, hebat, hebat!” Sambil menjulurkan tangan kanannya lalu menjabat erat tangan Pak Kiai.

Pria itu adalah Menteri Agama ke-17 (1998-1999) Kabinet B.J. Habibie, Menteri Pendidikan Nasional ke-26 Kabinet Gotong Royong (2001-2004). Ia juga pernah menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada masa pemerintahan Jokowi-JK yang juga dikenal tokoh Muhammadiyah yang menjadikan Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu prrguruan tinggi terkemuka di Tanah Air. Anda dapat menebaknya sekarang, siapakah pria itu? Ya, Prof. Abdul Malik Fadjar, yang wafat bakda magrib pada 7 September 2020, dalam usia 81 tahun.

“Sayang sekali saya baru tahu ada pesantren sebesar ini, setelah saya tidak lagi menjadi menteri,” ujarnya membuka perbincangan dengan pemimpin pesantren Daar el-Qolam, Kiai Ahmad Syahiduddin.

Pak Malik adalah salah satu tokoh nasional yang berpengaruh dan peduli dengan dunia pendidikan Tanah Air. Ia pernah berkunjung ke Pondok Pesantren Daar el-Qolam beberapa tahun yang silam.

Kunjungan itu sebenarnya tidak direncanakan, awalnya beliau mengisi sebuah acara di kantor Bupati Lebak, Banten. Salah seorang sahabatnya, Taftazani, yang juga alumni Pesantren Daar el-Qolam, meminta beliau singgah sebentar di almamaternya.

Kunjungan penting itu masih saya ingat karena kebetulan saya yang ditugaskan menjemput beliau di pendopo Bupati Lebak, lalu membawanya ke Pondok Pesantren Daar el-Qolam Gintung.

Pak Kiai tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga itu, beliau meminta Pak Malik untuk memberi nasihat dan wejangan kepada guru-guru di pesantrennya. Pertemuan berlangsung khidmat, Pak Malik menjelaskan tentang perkembangan dunia pendidikan dengan segala tantangan dan kompleksitasnya. Sedangkan guru berperan penting dan menentukan maju atau mundurnya pendidikan. Sebab itulah ia mengingatkan: ‘Guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar’.

Kehadiran Pak Malik memberi kesan yang dalam bagi kami guru-guru di pesantren yang punya beban tanggung jawab besar dalam mendidik para santri. Perlu modal yang kuat dalam menunaikan tugas ini. Modal itu adalah ilmu pengetahuan, metode yang jitu dan kompatibel dengan situasi dan perkembangan zaman. Dan yang lebih penting menjadikan guru sebagai profesi yang tertanam dalam jiwa.

Bagi Pak Malik, memilih profesi guru dalam era modern seperti ini membutuhkan keterampilan dan pemahaman yang utuh terhadap murid yang menjadi objek didiknya. Jika guru masih terbuai dengan gaya mengajar yang konvensional, tidak mau mengembangkan kompetensi akademiknya, apalagi tidak berminat mempelajari hal-hal baru, guru semacam itu tidak akan menarik minat belajar siswanya. Sebab di era modern guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.

Ia mengingatkan, guru harus terus bertumbuh dan berkembang. Pekerjaan mulia ini harus seiring sejalan dengan dinamika yang terus menggeliat dalam dunia pendidikan. Murid-murid saat ini adalah para pembelajar yang dikepung oleh derasnya teknologi informasi, di mana guru harus memahami gaya belajar, membentengi mereka dengan akhlak mulia untuk menghadapi gempuran kemajuan zaman yang tak pasti.

Selamat jalan Pak Malik. Sebagai guru kami akan terus berbenah agar tak punah. Kami harus terus berkembang jika tak ingin tumbang. Kami harus membuat inovasi jika ingin dicintai.

Selamat jalan Pak Malik. Engkau telah meninggalkan jejak-jejak kebaikan yang akan membuat hidupmu lebih panjang dari usiamu. Semoga Allah menempatkanmu disisi-Nya, bersama para nabi dan orang-orang saleh.

Penulis: Saeful Bahri
 Penulis: Saeful Bahri adalah Alumni Pondok Pesantren Daar el Qolam Gintung, Tangerang. Ia juga menulis beberapa buku yang diterbitkan oleh Penerbit Republika. Antara lain Lost in Pesantren dan 7 Jurus Betah di Pesantren.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here