Si Pulan marah. Dengan adanya pembatasan ibadah berjamaah karena wabah virus corona, dada si Pulan bergejolak seperti ingin meledak. Lalu dengan nada meledak-ledak, si Pulan pun menjelaskan bahwa kematian itu urusan Allah, ada atau tidak adanya wabah virus corona, matinya manusia adalah tetap kuasa Allah. Ia bahkan menantang ummat dengan pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban: “Sebagai orang Islam, kamu takut sama Allah atau sama virus corona?”
Si Pulan marah karena banyak beredar himbauan dan instruksi dari lembaga resmi keagamaan milik pemerintah, juga dari pesantren atau kampus, hingga tokoh-tokoh ulama yang menyarankan penutupan sementara atas pengajian umum, tablig akbar, shalat jumat dan pertemuan ibadah berjamaah lainnya. Karena marah, seperti hukumnya suatu kemarahan, maka si Pulan menjadi orang yang tidak tenang dan mudah menyimpulkan persoalan berdasarkan ukuran pengetahuan dirinya yang terbatas. Kemarahan tidak pernah menghasilkan ketenangan, melainkan justru akan mengasah dimensi gelap dalam diri manusia yang kelak membimbingnya melahirkan pertanyaan keliru: “Takut Allah atau takut corona?”
Ini pertanyaan keliru, karena pertanyaan retoris semacam ini hanya bisa lahir dari logika yang sesat. Allah sebagai Pencipta (al Khaliq) disejajarkan dengan Corona sebagai sekadar ciptaan (al Makhluq). Membandingkan takut pada sang Maha Pencipta dengan takut pada sekadar ciptaan adalah sesat logika yang mendasar. Logika perbandingan itu ada sejumlah ketentuan, di antaranya dilakukan hanya pada dua objek yang punya syarat dan kondisi yang bersesuaian. Jika tidak ada, maka tidak bisa dilakukan.
Dari pemahaman yang keliru ini, ditambah banyak masjid di daerah terjangkit virus corona mengumumkan penutupan kegiatan shalat berjamaah termasuk shalat Jumat, akhirnya si Pulan makin bertambah marah. Tanpa referensi yang cukup lalu ia katakan bahwa corona adalah ciptaan kafir, yahudi, komunis, dan seterusnya. Ia lupa bahwa corona hakikatnya juga ciptaan Allah Swt, sama seperti makhluk lainnya. Ia didatangkan untuk menguji kita dalam situasi kecemasan, seperti Allah Swt pasti menguji manusia dengan situasi kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, agar kita bersabar dan bisa bercerita tentang indahnya nasib para penyabar (Al-Baqarah : 155), sebab orang-orang sabar di mata Allah Swt selalu dikatakan sebagai orang-orang yang menang (al Muflihun).
Di tengah maraknya pandangan dan pendapat tentang virus corona, saya tidak akan menambah daftar panjang perdebatan itu. Saya hanya ingin menegaskan sikap yang perlu diambil dalam situasi darurat wabah semacam ini. Penjelasan-penjelasan tentang bagaimana Rasulullah dan Umar bin Khattab menghadapi wabah, sudah banyak beredar, seperti banyaknya sanggahan yang diedarkan untuk melawan kesimpulan pembatasan ibadah berjamaah.
World Health Organization (WHO) sebagai otoritas dunia yang membawahi bidang kesehatan sudah mengeluarkan maklumat Pandemi Covid-19. Pemerintah RI juga sudah memutuskan langkah-langkah penanganan wabah Covid-19, membentuk tim khusus, menerbitkan instruksi-instruksi, dan memberikan pengumuman publik atas informasi-informasi yang perlu diketahui publik. Begitu pun dengan kebijakan-kebijakan operasional yang dimaklumatkan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten.
Ulul amri sedang bekerja mengatasi Covid-19 dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Kita mesti mau mengikuti langkah-langkahnya. “Athiullah wa athiurrasul wa ulil amri minkum.” (Patuhilah Allah dan Rasulnya, serta ulil amri di antara kalian. An-Nisa : 59). Kecuali ulul amri abai dan dzalim terhadap penanganan wabah ini, maka langkah protes bisa diajukan. Kalau yang dilakukan adalah penentuan satu opsi dari opsi-opsi yang dimungkinkan, itu merupakan kebijakan yang dipilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari para ahli di bidangnya. Kita perlu memercayakan sesuatu kepada ahlinya, jika tidak kita dalam bahaya yang lebih luas. Dan bahaya utama dalam pengelolaan organisasi adalah ketika semua orang ingin tampil jadi imam, padahal tidak semua orang punya pengetahuan di bidang yang sedang dibutuhkan, juga kewenangan, otoritas dan birokrasi yang mesti bekerja di garda depan.
Lembaga resmi yang mengawasi dan membimbing penerapan syariat Islam di Indonesia seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mendampingi langkah-langkah Pemerintah RI. MUI bahkan telah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Dalam fatwa itu, antara lain MUI melarang umat Islam di daerah terpapar corona untuk melakukan shalat Jumat berjamaah, shalat Id, shalat tarawih berjamaah, dan majelis taklim. Keterangan lengkap Fatwa MUI ini bisa diakses via internet untuk menghindari kesalahpahaman, sehingga ummat yang tidak kompeten tidak boleh bermanuver sendiri di luar itu. Ibadah butuh ditegakkan dengan ilmu dan pengetahuan yang menyelamatkan kehidupan orang banyak, bukan ditegakkan dengan nafsu untuk mengukir nama indah diri sendiri. Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Min husnil Islamil marii tarkuhu ma laa ya’nihi” (Sebaik-baiknya orang Islam adalah meninggalkan apa-apa yang bukan urusannya)
Islam adalah agama yang rasional (al Mulaaim lil Uquul). Ulama yang bersandar pada ilmunya, pasti dia akan mengikuti aturan ilmu, langkah-langkah yang ilmiah, masuk akal, mengambil sikap hukum yang berdasar pada sumber-sumber hukum dan pembacaan cermat atas konteks sosio-hukum mutakhir. Melalui Imam Malik dari sahabat Abu Sa’id, kita tahu bahwa Rasulullah telah bersabda: “La dharara walaa dhiraara, man dhaarra dharrahullahu, waman syaaqqa syaqqallahu `alaihi”. (Janganlah membahayakan diri dan orang lain, barangsiapa yang membuat mudharat niscaya Allah memudharatkannya dan barangsiapa mempersulit niscaya Allah akan mempersulitnya.)
Dalam kasus Covid-19 ini, dengan mengikuti langkah-langkah Pemerintah RI, setidaknya kita tidak sedang mempersulit langkah-langkah penanganan wabah corona secara nasional. Ini penting kita lakukan untuk langkah pencegahan dari situasi kerusakan yang lebih jauh. Dalam ushul fiqh, kita pun paham bahwa ada kaidah hukum yang tegas berbunyi: “dar’ul mafaasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (menolak bahaya/kerusakan lebih utama daripada mengambil manfaat/kebaikan.)
Kini semakin tampak, khususnya bagi umat Islam di Indonesia, wabah corona merupakan cara Allah Swt menguji kedalaman aqidah kita dan mengajak kita meluaskan pengetahuan syariat Islam dalam kondisi darurat. Dalam situasi darurat, bahkan kita harus mengerti adakalanya situasi hukum menjadi: “Addharuratu tubihul mahdzuraat” (Kemudaratan membolehkan yang dilarang). Namun kita tentu harus paham dulu bahwa “Ma ubiihu lidharurati yuqaddaru biqaddariha” (Apa-apa yang dibolehkan karena mudarat harus diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal). Dengan kata lain: “Adhdhararu la yuzaalu bidhdharar” (Kemudaratan tidak bisa hilang dengan kemudaratan lainnya).
Akhirnya, si Pulan adalah saya. Kini tak ada alasan bagi saya, kecuali menimba kembali perigi Islam yang dalam dan luas.
Penulis: Chavchay Syaifullah adalah sastrawan dan budayawan. Direktur Eksekutif Rifa’i Center (RICE). Alumni Pesantren Daar el Qolam, Tangerang, Banten dan Pesantren Roudhah al Hikam, Cibinong, Jawa Barat.