Penulis : Frans Dorelagu S,iP Merupakan Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
BANTENKINI.COM JAKARTA -Menyoroti ketimpangan sosial pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang tidak adil, berakibat pada tumbuhnya ideologi radikal dan terbentuk paradigma sosial terhadap matinya semangat nasionalisme sebagai fondasi bangsa.
Penulis mengawali artikel ini dengan melihat kembali literatur sejarah Indonesia, khususnya kedatangan Hindu, Budha, Islam dan Kristen di nusantara.
Bangsa Indonesia adalah bangsa mejemuk yang didirikan dengan latar belakang sejarah dan budaya serta kepercayaan berbeda beda, bangsa yang didirikan melalui forum dialog yang relatif alot mengenai azas pancasila sebagai landasan negara, namun upaya penyamaan persepsi akan senasib sebangsa dan setanah air, akhirnya bermuara kepada kesepakatan bersama oleh para pendiri bangsa untuk menerima pancasila sebagai landasan negara yang final. Akhirnya pancasila hidup dan bertahan hingga kini sebagai ideologi persatuan bangsa dan perekat perbedaan etnis, suku ras, agama dan budaya.
Secara historis sebelum negara ini terbentuk, nusantara sudah didahului oleh kebudayaan India yang masuk pada abad ke enam masehi. Jawa menjadi pusat berlangsungnya kebudayaan India (sangskerta) dimana telah di tandai dengan situs sejarah kebudayaan yang berdiri kokoh hingga kini yaitu Prambanan sebagai pusat kebudayaan Hindu dan Borobudur sebagai pusat kebudayaan Budha. Sayang kedua kebudayaan ini tidak cukup bertahan setelah masuknya Islam di Jawadwipa.
Pada abad ke sembilan masa khalifah Utsman telah mengirim utusan ke istana Cina. Mereka menyeberangi lautan dan melintasi daratan Asia Tenggara, ketika utusan Utsman singgah di Asia Tenggara mereka mulai menanamkan nilai nilai Islam di nusantara yang di tandai dengan mendirikan kerajaan islam pertama di Malaka. Perkembangan islam sangat pesat hingga masa pra islam di jaman kerajaan majapahit. Kemudian berkembang islam yang luas di wilayah Jawa. Belakangan islam menjadi kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di nusantara.
Selanjutnya pada abad ke 16 Paus Alexander VI membagi dunia baru kepada Portugis dan Spanyol untuk melakukan pelayaran ke Asia. Pembagian dunia baru yang di kenal dengan perjanjian Tordosillas dan Saragosa (sebagai konsensus atas perang perebutan tanjung verde) yaitu memberi mandat kepada Portugis untuk berlayar ke arah timur dan spanyol berlayar ke arah barat. Atas dasar semboyan GOLD GOSPEL and GLORY setiap bentangan wilayah dalam pelayaran menjadi tujuan imperium dan penyebaran agama katolik. Hingga akhirnya bangsa Portugis tiba di nusantara dan menetap di Halmahera Utara untuk mencari rempa-rempa dan mengajarkan agama katolik di daerah Maluku, Flores dan Timor hingga kedatangan VOC pada abad berikutnya.
Sedangkan Spanyol dibawah pimpinan Magellan dan Antonio Pigaveta pencatat kronik pelayaran menuju Filipina di sekitar Tato Mindanao Timur laut dan membaptis banyak orang di sana, hingga akhirnya Magellan tewas terbunuh dalam suatu pemberontakan di Filipina. Fakta di atas merupakan tinjauan historis yang telah sedikit memberikan pemahaman, bahwa sejarah bangsa Indonesia di mulai dengan fundamentalisme kebudayaan dan agama yang bersumber dari luar nusantara dan akhirnya menjadi sumber fanatisme masing masing bagi masyarakat penganutnya.
Fakta yang tercermin saat ini ialah fundamentalisme agama menjadi dominan memainkan peran atas nama keselamatan umat manusia, Agama dipahami sebagai sebuah ajaran suci (holy teaching) yang tidak boleh dicemari oleh kepentingan apapun selain tujuan ibadah. Agama hanya perlu di tempatkan pada tataran spiritual. Esensi ajaran agama adalah memperbaharui kehidupan menuju kemurnian iman yang utuh dengan selalu berpedoman pada ajaran suci agama. Artinya agama tidak dieksploitasi untuk kepentingan dan tujuan tertentu.
Selanjutnya fakta saat ini berkata lain, justru agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Akhirnya makna agama mengalami pergeseran drastis karena telah masuk dalam wilayah politik praktis. Walaupun dalam konteks teoritis ada korelasi antara politik dan agama, tetapi idealnya kalau nilai spiritualitas agama menjadi sumber acuan dalam mengambil kebijakan politik yang etis, bukan sebaliknya agama menjadi sarana komoditas untuk memenuhi tujuan politik.
Disisi lain perbedaan kultur budaya dan ragam etnis menjadi corak tersendiri bagi bangsa Indonesia. Idealnya perbedaan mestinya dipandang sebagai kekayaan budaya bangsa, perbedaan mestinya menjadi khasana untuk saling melengkapi, tetapi perbedaan menjadi sangat tendensif ketika dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Akibatnya perbedaan menjadi sangat sensitif dan menjadi penyuluh konflik sosial dalam masyarakat. Pancasila sebagai falsafah bangsa terkesan tidak lagi mampuh menanamkan ideologi perekat perbedaan, justru pancasila dipersoalkan kembali eksistensinya sebagai ideologi negara. Maka eksistensi pancasila berada dalam ancaman.
Kerapuhan Nasionalisme
Pengertian nasionalisme awal ditujukan kepada sekelompok orang yang memiliki ikatan kebudayaan, bahasa dan tradisi yang sama untuk hidup merdeka dengan satu tanah air. Nasionalisme pertama kali dicetuskan pada revolusi Prancis abad ke 18 untuk mengganyang feodalisme dan kekuasaan absolut raja. Revolusi tersebut mengantarkan rakyat perancis pada tatanan negara yang berbentuk republik demokrasi.
Di Indonesia semangat nasionalisme dikobarkan oleh Bung Karno sejak masih mahasiswa di Bandung hingga menjadi presiden.
Semangat nasionalisme adalah patriotisme, oleh karena itu perlu memupuk jiwa nasionalisme warga negara untuk mencintai bangsa dan tanah air sendiri. Sebuah bangsa tidak akan berdiri tegak tanpa kehadiran rakyat. Sesuai konsep politik bahwa terbentuknya negara memiliki tiga unsur penting yaitu wilayah, pemerintah yang berdaulat dan rakyat. Salah satu unsur terpenting adalah rakyat, karena rakyat adalah unsur manusia yang memiliki kemampuan lebih untuk mengatur jalannya pemerintahan negara.
Semenjak peralihan dari orde baru ke reformasi, tampak perubahan sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam konteks kebebasan pendapat dan ekspresi tampak sangat masif. Nilai budaya bangsa sebagai bentuk kearifan perilaku terkikis oleh arus reformasi yang berlabel demokrasi. Demokrasi di pahami sebagai ajaran rasional yang layak dan pantas sebagai sumber etika moral bangsa Indonesia, walaupun demokrasi adalah warisan budaya barat. Dengan alasan demokrasi, warga bangsa menjadi militan memperjuangkan kebebasan individu, kelompok dan golongan, sehingga terkesan pendegradasian nilai hakiki demokrasi universal ke dalam basis demokrasi privalese.
Ketika pengertian demokrasi mengalami pergeseran makna kepada kebebasan individu, kelompok dan golongan, maka hakikat semangat nasionalisme mengalami kerapuhan, karena masyarakat telah terbelenggu dengan pemahaman fundamental demokrasi sektarian. Akibatnya tumbuh gerakan radikal yang mengarah kepada pemenuhan hak-hak individu dan golongan tanpa menghiraukan asas kebersamaan sebagai warga bangsa. Pada titik ini makna nasionalisme terkikis dan tergerus oleh kepentingan tertentu, sehingga yang kita alami adalah krisis moral masyarakat untuk membangun semangat persatuan dan kesatuan semakin menurun. Masyarakat lebih gemar memperjuangkan kepentingan invidu dan kelompok ketimbang kepentingan nasional. Mareka lebih antusias meraih tujuan kepuasan diri ketimbang membangun kepedulian terhadap nasib bangsa. Urusan negara adalah urusan pemerintah, oleh karena itu rakyat tidak perlu terlibat dalam urusan negara, walaupun negara berada dalam instabilitas keamanan yang membahayakan persatuan bangsa. Apabila nurani rakyat untuk mencintai bangsanya telah mati, maka dapat dipastikan semangat nasionalisme akan goyah dan negara akan tumbang.