Penulis: Eksa Tamara Laras Izzati
Dunia masih saja dihebohkan dengan adanya Pandemi Virus Corona, yang membawa dampak signifikan ke perubahan dunia.
Virus ini terus merajalela hingga penyebarannya pun semakin meluas, bahkan mengalahkan segala macam upaya pencegahan yang telah dilakukan. Sangat sulit untuk menebak kapan upaya-upaya pencegahan tersebut akan membuahkan hasil, jika dilihat dari semakin bertambahnya jumlah pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 ini.
Di tengah pandemi Virus Corona yang semakin meresahkan tentunya keberadaan Tenaga Kesehatan (Nakes) sangatlah diperlukan. Karena merekalah yang bertarung nyawa demi keselamatan pasien yang terdampak Virus Corona. Walaupun dengan keterbatasan Alat Pelindungan Diri (APD) yang dimiliki bahkan sampai kehabisan stok, sehingga digunakanlah alternatif lain sebagai penggantinya seperti jas hujan dan masker kain.
Selain itu Tenaga Kesehatan sebagai garda terdepan pelayanan dalam upaya pencegahan perkembangan COVID-19 dan penanganan kasus wabah Virus Corona ini telah bekerja ikhlas, totalitas, dan tuntas dalam menjalankan tugas kemanusiaan.
Tanpa perlu diapresiasi, mereka sudah mengorbankan tenaga, waktu serta rela tidak bertemu dengan keluarga demi memberikan pelayanan yang prima terhadap pasien. Untuk itu, perlindungan terhadap tenaga kesehatan dalam menangani COVID-19 lebih utama. Karena tenaga kesehatan inilah garda terdepan dalam pelayanan.
Namun berbeda jika dilihat di lapangan, alih-alih tenaga kesehatan yang seharusnya mendapatkan perlindungan justru faktanya menunjukkan bahwa klaster tenaga kesehatan-lah yang mendapatkan ledakan dari infeksi COVID-19 tersebut. Kematian Tenaga Kesehatan (Nakes) Indonesia akibat COVID-19 menduduki peringkat tertinggi di Asia Tenggara dan dunia.
Seperti yang dinyatakan oleh Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kematian dokter terus bertambah dan hingga tanggal 3 Oktober kemarin tercatat 130 dokter meninggal setelah terinfeksi Virus Corona. 130 dokter itu terdiri dari 67 dokter umum, 61 dokter spesialis, dan dua dokter residen.
Jumlah tersebut tidak termasuk dokter gigi yang meninggal akibat terpapar Virus Corona. Para dokter yang meninggal dunia itu tersebar di 18 provinsi. Rinciannya, 31 dokter di Jawa Timur, 22 dokter di Sumatera Utara, 19 dokter di DKI Jakarta, 11 dokter di Jawa Barat, 9 dokter di Jawa Tengah, 6 dokter di Sulawesi Selatan, 5 dokter di Bali. Kemudian, di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan di Aceh masing-masing 4 dokter. Lalu, di Kalimantan Timur dan Riau masing-masing 3 dokter. Selanjutnya, di Kepulauan Riau, DIY, dan NTB masing-masing 2 dokter. Serta di Papua Barat, Banten, dan Sulawesi Utara masing-masing 1 dokter.
Besarnya jumlah korban Virus Corona pada tenaga kesehatan tersebut menjadi pukulan telak bagi dunia kesehatan di Indonesia. Pasalnya, jumlah tenaga kesehatan terutama dokter di Indonesia merupakan salah satu yang terendah di Asia maupun dunia.
Para Tenaga Kesehatan (Nakes) yang berguguran ini merupakan masalah utama Pemerintah dalam upaya pencegahan perkembangan COVID-19 di fasilitas kesehatan. Minimnya jumlah Tenaga Kesehatan (Nakes) terutama dokter yang aktif di fasilitas kesehatan akibat sebagian besar Tenaga Kesehatan (Nakes) harus menjalani isolasi mandiri, mengakibatkan upaya pencegahan perkembangan COVID-19 di Indonesia semakin terhambat. Dengan jumlah dokter yang ada, rata-rata 1 orang dokter diestimasikan hanya melayani 3 ribu masyarakat.
Kehilangan tenaga kesehatan merupakan kerugian besar dalam penanganan kesehatan di masa pandemi ini. Kejadian ini berpotensi membuat layanan kesehatan terancam lumpuh. Bahkan di beberapa fasilitas kesehatan di Indonesia, sebagian pelayanan di Puskesmas dan IGD RSUD terpaksa ditutup karena banyaknya Tenaga Kesehatan (Nakes) yang terkonfirmasi positif COVID-19. Akibatnya, masyarakat yang ingin berobat, membutuhkan perawatan, dan membutuhkan mobil ambulance harus mengalihkan tujuannya ke fasilitas kesehatan lainnya.
Berdasarkan hasil observasi, nampak terjadi penumpukan antrian yang panjang di berbagai fasilitas kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan karena banyaknya masyarakat yang membutuhkan perawatan dan obat. Pengalihan tujuan tersebut terpaksa dilakukan agar pelayanan kesehatan tetap berjalan. Bukan hal yang mudah untuk diterima oleh masyarakat lantaran akses yang ditempuh untuk sampai ke fasilitas kesehatan tersebut akan semakin jauh dan menjadi tidak efisien. Pengalihan tujuan inilah sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat apalagi jika masyarakat tersebut sangat membutuhkan bantuan atau tindakan penanganan kesehatan secepatnya. Akan tetapi peraturan tersebut walau bagaimanapun harus mau tidak mau dilakukan oleh masyarakat karena dengan alternatif inilah yang menjadi jalan terbaik untuk kondisi seperti ini. Lagi pula fasilitas kesehatan yang ditutup juga hanya berlaku selama 14 hari. Jadi masyarakat tidak perlu terlalu khawatir jika harus menjalani pengobatan dengan jarak tempuh yang cukup jauh dari tempat tinggalnya sebab penutupan hanya berlaku sementara.
Penutupan tersebut dilakukan untuk meminimalisir penyebaran dan memutus rantai penularan Virus Corona lantaran beberapa tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut tengah dikarantina.
Jika dilihat dari perbandingan jumlah tenaga kesehatan seperti dokter yang belum mencukupi dengan besarnya jumlah penderita.
Sangat berbahaya jika fasilitas kesehatan tidak mampu melayani seluruh penderita COVID-19 karena kasusnya pun akan terus bertambah. Untuk itu seluruh fasilitas kesehatan, negeri maupun swasta harus siap menghadapi pandemi ini. Kesiapan tersebut bisa dilihat dari berbagai aspek bukan hanya dari satu sisi.
Pertama, kesiapan sumber daya manusia yang sangat vital. Setiap fasilitas kesehatan harus benar-benar memastikan sumber daya manusia yang dimiliki seperti dokter, perawat maupun tenaga medis dan non medis lainnya. Kesiapan dilihat dari jumlah sumber daya manusia yang dimiliki, kesiapan skill, maupun kesiapan fisik dan mental.
Kedua, kesiapan logistik berupa alat-alat medis, alat pelindung diri, ruang isolasi, maupun obat-obatan. Keberadaan logistik sangat penting karena sebagai penunjang utama bagi para tenaga kesehatan.
Peran Pemerintah dalam menyediakan logistik sangat diperlukan. Pemerintah tidak boleh tinggal diam dan harus membuat kebijakan yang cepat dan tepat untuk memenuhi kebutuhan logistik di semua fasilitas kesehatan.
Selain itu untuk mensiasati kelumpuhan total terhadap pelayanan kesehatan dan meminimalisir banyaknya korban dari pihak tenaga kesehatan saat ini, maka Pemerintah sebaiknya memerintahkan kepada sejumlah fasilitas kesehatan untuk melakukan penyiagaan terhadap fasilitas kesehatan yang minim kasus positif COVID-19 dengan memberikan pelayanan ekstra kepada masyarakat sebaik mungkin dan mengimbau kepada para tenaga kesehatan agar menghindari sambungan kontak COVID-19.
Selayaknya juga pemerintah menerapkan protokol kesehatan secara ketat, membekali tenaga kesehatan dengan APD memadai dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyat terutama pada pelayanan kesehatan selama masa pandemi. Sebab kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara sehingga negara memiliki peran penting dalam menjamin kesehatan masyarakatnya dan melindungi kesehatan masyarakatnya dari penyakit tanpa memandang status sosial dan keyakinannya.
Sebagai salah satu penentu derajat kesehatan masyarakat, posisi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan utamanya di masa pandemi merupakan hal penting yang harus dan terus diprioritaskan. Negara harusnya memberikan perlindungan yang optimal untuk menjaga dan melindungi para tenaga kesehatan ini.
Penulis: Eksa Tamara Laras Izzati, Administrasi Publik, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa