BANTENKINI.COM, SERANG – Oknum Jaksa Banten Berinisial E yang dituding Kuasa Hukum Warga Desa Rancapinang, Direktur Saefullah Keluarga Law firm, Ipul Syaifullah terlibat dalam kasus penggelapan dan penipuan tanah membantah hal itu.
Menurutnya, persoalan kasus prona di desa Ranca Pinang bermula terjadi pada tahun 1997 saat itu semua warga yang mempunyai lahan garapan mengikuti program tersebut termasuk dirinya yang mempunyai tanah warisan keluarga seluas 10 Hektare.
“Berjalan waktu sertifikat ga jadi-jadi, dan pada tahun 1999 saya ajukan ulang sertifikat tanah milik peninggalan keluarga ke BPN Pandeglang namun ditolak BPN karena tanah yang diajukan sudah bersertifikat,” katanya.
Setelah ditelusuri ternyata sertifikat tanah milik warga Ranca Pinang sudah di ambil oleh Pak Haji Toni, orang Labuan dengan alasan pada saat pembuatan sertifikat semua menggunakan uang pribadinya.
Kemudian, pihaknya bersama para tokoh mendatangi kediaman Haji Toni. Sesampai di sana, beliau mengaku sertifikat itu ada namun sudah digadaikan untuk meminjam uang kepada China atas nama Merry Santi.
“Kita pun langsung mencari tau informasi kediaman Merrysanti orang China tersebut, untuk meminta penyelesaian. Pada waktu itu saya mendatanginya di Glodok Jakarta namun tidak pernah mau bertemu saya,” ungkapnya.
Berjalannya, pada tahun 2019 ada yang berminat membeli tanah milik masyarakat Desa Rancapinang bernama Erfan Efendi Sugianto pengusaha asal Jakarta.
“Jadi saat itu sudah banyak tumpang tindih antara warga dengan warga, dan orang lain dengan orang lain. Makannya persoalannya cukup membuat ribet,” jelasnya.
Keinginan Erfan Efendi Sugianto untuk membeli tanah milik masyarakat Desa Rancapinang semakin kuat, karena ingin menjadikan tambang udang.
Momentum itulah, dimanfaatkan untuk mengambil tanah miliknya seluas 10 Hektar dan tanah milik masyarakat Desa Rancapinang dari tangan orang China tersebut.
“Akhirnnya orang pak Toni yang menggadaikan tanahnya mau menjualnya, dan saya punya inisiasi. Saya mengaku sebagai peminat baru dengan menyamar nama sebagai Haji Daman, dan dikirimlah foto saya. Lalu Merrysanti setuju, terima bersih di angka Rp 5 Miliar,” katanya.
Singkat cerita, dirinya pun langsung mengumpulkan syarat-syarat tanah seluas 90 Hektar miliknya dan milik masyarakat Desa Rancapinang, dengan mengumpulkan 100 buku surat tanah.
“Sampai disitu semuannya selesai, dan peristiwa pun mulai terjadi pada 2019 saat 8 orang warga tidak mau nerima duit. Tapi harus melalui Rachmat. Warga mau jual tanah tersebut asalkan melalui orang dua itu,” terangnya.
Setelah melalui proses panjang akhirnya dicapai kesepakatan untuk dilakukan pembayaran Rachmat ditransfer senilai Rp 360 Juta ke rekiningnya, dan Fee transport senilai Rp 80 juta.
“Namun selang tiga hari warga ada yang menelepon dan mengaku belum menerima uang pembayaran. Padahal waktu itu 4 warga yang telah menyetujuinya, pembayaraannya telah dilakukan melalui Rachmat. Saya pun menyuruh ambil saja uangnya di Rachmat,” tegasnya.
Berjalannya waktu, lanjutnya, dirinya mendapatkan kabar, bahwa saudara Rachmat di tangkap polisi, dan tidak ada lagi masyarakat maupun perusahaann yang mempersoalkan hal itu ke pihaknya.
“Kita ikuti proses hukum aja, dan kalau ada yang menyebutkan nama saya terlibat mari kita buktikan. Biarkan proses hukum yang menjawab,” tandasnya. (Kie)