“Yang benar pesantren atau pondok pesantren?” begitulah tanya seorang teman. Saya ingin langsung menjawab, namun entah kenapa, nyatanya saya mendadak diam. Pikiran saya melesat jauh ke berbagai sudut pandang. Ternyata menyampaikan jawaban yang benar, tidak begitu mudah meski tidak dalam kondisi terintimidasi. Setidaknya saya sibuk membayangkan, jika saya jawab pertanyaan itu secara lebih tepat, maka bagaimana nasib lembaga yang telah menjadikan istilah itu tertulis di akta lembaga, papan nama lembaga, brosur, buku pelajaran dan sebagainya. Hal ini tentu akan membingungkan banyak pihak, termasuk guru-guru dan sahabat-sahabat saya yang sedang memimpin lembaga pendidikan ragam pengetahuan dan adab Islam ini.
Tidak hanya itu, saya juga membayangkan bagaimana caranya mengubah istilah yang sudah lama sekali terlanjur menjamur di mana-mana dan sudah diterima begitu saja oleh masyarakat, terlebih oleh kelompok orang terdidik. Saya juga membayangkan bagaimana hal ini tidak dikoreksi secara terbuka oleh guru-guru saya terdahulu. Apakah mereka benar tidak tahu ataukah sekadar tidak mau membenturkan diri dalam polemik? Sejumlah bayangan terus melesat hilir mudik serupa titik-titik imaji kosong.
“Ih, malah bengong. Pesantren atau pondok pesantren? Yang mana yang benar?” tanya teman saya kembali.
“Pesantren. Tapi….tapi….”
“Tapi apa?”
“Oh, engga. Cukup satu kata: Pesantren,” tegas saya.
Lalu teman saya itu diam dan seperti tidak perlu penjelasan lebih jauh, padahal saya sudah bersiap diri untuk menjawab pertanyaan selanjutnya.
Baiklah, untuk sesuatu yang lebih tepat di masa depan, baiknya kita urai sedikit problem bahasa ini. Pesantren atau pondok pesantren?
Pesantren adalah satu kata yang patut diterima dan disyukuri sebagai anugerah oleh para pengguna bahasa Indonesia. Meski seringkali bahasa Indonesia ditengarai kekurangan ekspresi linguistik, terutama dalam menyerap bahasa asing, namun dalam hal kata “pesantren” bahasa Indonesia justru lebih berhasil mengartikulasikan objeknya secara bijak dan tepat, setidaknya dibandingkan dengan bahasa Arab dan Inggris. Pesantren menjadi satu pengertian khusus yang merujuk pada kondisi atau tempat khusus, sehingga memudahkan masyarakat untuk mengidentifikasi objeknya dalam pengertian yang khusus.
Dalam bahasa Arab, pesantren umumnya dipadankan dengan istilah “ma’had”, bukan “madrasah”. Secara leksikal, ma’had sendiri bermakna lembaga, badan, dan institut, dari kata ‘ahida-‘ahdan yang berarti mengetahui dan mengerti. Dalam bahasa Inggris, kalangan pesantren sering memadankan kata “boarding school” yang berarti sekolah yang mempunyai asrama.
Pada bahasa Arab dan Inggris, dua bahasa asing yang akrab dengan kalangan pesantren, label Islam kerap dilekatkan pada objeknya, maka tersebutlah “al- ma’had al Islami” dan “Islamic boarding school” untuk menjelaskan pengertian lembaga pendidikan Islam yang memiliki asrama dan mewajibkan muridnya untuk tinggal di asrama.
Pada bahasa Indonesia sendiri, murid yang belajar Islam pada guru dan tinggal di asrama bersama guru disebut santri. Tempat aktivitas santrinya, mulai dari pondok atau asrama, mushala, kelas, dapur, koperasi dan sebagainya, menjadi kesatuan tempat yang disebut pesantren. Pesantren adalah pusat kegiatan pendidikan Islami bagi santri, mulai dari tidur, makan, minum, belajar, olahraga, berkesenian dan beribadah lainnya. Kegiatan “mondok” atau tinggal di asrama yang ada dalam kesatuan wilayah pesantren menjadi prasyarat bagi predikat santri. Murid yang tidak tinggal di pondok atau asrama yang terdapat dalam pesantren, tidak bisa dikatakan santri. Sebab santri, dalam bahasa Indonesia, sekaligus terbedakan dari kata murid. Di kalangan pesantren pun kata santri diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai “thalib”, bukan “tilmidz”. Hal yang membedakan dua predikat itu ada dalam penjelasan kegiatannya yang terpadu di lingkungan pesantren.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertulis bahwa pesantren adalah “asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya; pondok”. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta menyebut pesantren adalah “asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji”. Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menyebut pesantren adalah “madrasah, asrama, pondok”. Beberapa kamus lainnya juga sama, yakni senada pada pengertian dasar pesantren sebagai pondok atau asrama yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan Islam. Pondok dan pesantren, dengan kata lain, merupakan sinonim. Punya kesamaan makna dalam konteks masyarakat Islam Indonesia, baik secara kognitif maupun emotif, walaupun dalam ilmu bahasa mungkin layak dikatakan jenis sinonim yang tidak lengkap dan tidak mutlak. Lalu, apa kita masih tetap mau menggunakan istilah “pondok pesantren” yang bukan saja berarti terjadi pengulangan makna, tapi juga membingungkan kalau pondok pesantren kemudian berarti pondok pondok, atau pondok dalam pondok, atau pondok pada pondok?
Pesantren yang telah diterima bahasa Indonesia sebagai kata benda khusus dari pengertian umum pondok sebagai kesatuan sarana yang menyelenggarakan pendidikan Islam bagi santri yang “mondok”, harusnya disyukuri dengan baik. Kita perlu merayakan kesuksesan bahasa Indonesia melahirkan nama yang khusus bagi tempat atau lembaga pendidikan yang kita sebut pesantren. Apalagi kita tahu bahwa pada 2019 lalu Indonesia sudah berhasil menerbitkan produk hukum berupa UU Pesantren, yakni Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Ya, UU Pesantren, bukan UU Pondok Pesantren. Dengan demikian, posisi terminologi “pesantren” menjadi semakin kuat dan jelas dalam khazanah bahasa Indonesia.
Kita tidak perlu ribet menyebut pondok pesantren. Cukup pesantren. Saking ribetnya, karena dirasa kepanjangan, pondok pesantren pun seringkali ditulis dengan akronim “Ponpes” atau singkatan “PP”. Lah, memang siapa yang bikin kepanjangan? Kita sendiri. Sudah panjang, salah pula. Apa tidak menjadi ganda kesalahan kita? Kita juga tidak perlu menulis label “Pesantren Islami”, sebagaimana “Al Ma’had al Islami” dalam bahasa Arab dan “Islamic Boarding School” dalam bahasa Inggris, karena lembaga berlabel pesantren memang dimaksudkan khusus pendidikan Islam. Apalagi tersurat jelas dalam UU Pesantren pada Bab 1, Pasal 1, bahwa “Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Mulai sekarang, mari kita gunakan istilah yang benar. Sebagai lembaga pendidikan yang meyakini bahwa bahasa adalah mahkota peradaban manusia, saatnya kita bergerak menuju satu kata: PESANTREN. Kalau nyatanya kita tidak berani memperbaiki bahasa kita, bagaimana mungkin kita bisa mengubah tradisi yang keliru, budaya yang linglung, dan peradaban yang kelam. Lalu, nikmat bahasa mana lagi yang mau kita dustakan?
Penulis oleh: Chavchay Syaifullah
(Sastrawan dan Budayawan. Direktur Eksekutif Rifa’i Center (RICE). Alumni Pesantren Daar el Qolam, Jayanti, Tangerang, Banten dan Pesantren Raudhoh al Hikam, Cibinong, Bogor, Jawa Barat.)