Berkah Dari Pesantren di Masa Pandemi

0
463 views

Sejak pandemi ini datang melanda pada awal Maret 2019, rasa takut begitu besar di kalangan masyarakat. Pada awalnya, intruksi pemerintah untuk melakukan segala hal dari rumah dapat dipahami dan ditaati. Namun kira-kira berselang sebulan dua bulan, dampaknya mulai terasa. Masyarakat mulai jenuh dan acuh. Pemerintah pun tak berdaya, kelonggaran-kelonggaran dalam frase new normal digaungkan, sayangnya kasus bukan menurun malah bertambah jumlahnya.

Begitulah fakta yang ada di depan mata. Pandemi ini membuyarkan banyak rencana, mengacaukan beragam sendi kehidupan. Salah satunya merusak program pendidikan dan pengajaran yang ada di sekolah, madrasah, atau pesantren. Tak sedikit keluhan orang tua dan siswa dalam menjalani pembelajaran jarak jauh. Ironisnya, seorang anak di kawasan Lebak Banten, meregang nyawa di tangan orang tuanya sendiri, gara-gara pembelajaran dalam jaringan.

Di antara lembaga pendidikan yang ada di negeri ini, hanya pesantren yang berani membuka dan menyelenggarakan belajar tatap muka. Keberanian pesantren itu melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Yang tak setuju memandang pesantren sedang bertaruh nyawa, karena pesantren adalah kerumunan yang tidak diharapkan saat pandemi. Adapun pihak yang mendukung dibukanya pesantren, memandang santri hanya berpindah dari rumah kecil ke rumah besar bernama pesantren. Selama disiplin terhadap protokol kesehatan diterapkan, dan segala ikhtiar untuk mencegah penyebaran virus dilakukan, mereka yakin semua akan baik-baik saja. Ikhtiar dan doa menjadi senjata bagi mereka.

Respon pesantren terhadap Covid-19 ini memang beragam. Seperti temuan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) Nahdhatul Ulama, yang menjelaskan ada tiga pandangan kalangan yang ada di pesantren dalam menyikapi virus ini:

Pertama. Pandemi itu Hoak: Konspirasi

Ada sebagian pesantren dan pengasuhnya memandang Covid-19 tidak ada. Menurut mereka virus ini adalah konspirasi negara-negara tertentu dengan agenda tertentu. Kalangan ini terbilang kecil. RMI menyimpulkan hanya 10 % jumlahnya.

Kedua. Percaya Pandemi Tapi Tak Berdaya

Sebagian pesantren dan pengasuhnya percaya adanya Covid-19. Namun mereka tidak berdaya, pasrah karena keterbatasan pengetahuan dan sarana prasarana yang ada di pesantren. Kelompok ini jumlahnya 30 %.

Ketiga. Berdaya Sekuat Tenaga

Sebagian besar pesantren dan pengasuhnya berupaya seoptimal mungkin mencegah potensi penyebaran virus. Mereka menerapkan standar dan protokol yang ketat. Dari mulai kedatangan santri sampai pelaksanaan pembelajaran. Menurut data RMI, pesantren dalam kategori ini jumlahnya lebih besar: 60%

Dari tiga kelompok pesantren di atas, harap-harap cemas tetap menyeruak. Akhirnya waktu memberikan jawaban atas spekulasi dan ikhtiar yang ada pada masing-masing pesantren. Satu persatu kabar buruk sekaligus kabar baik datang dari pesantren seperti yang diberitakan akhir-akhir ini. Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Keagaman dan Pesantren merilis data pada 17 September 2020 sebagai berikut: 20 Pesantren di 9 provinsi terpapar Covid. 1015 santri terkonfirmasi positif. 960 dinyatakan sembuh. 75 santri dalam perawatan. Dan kasus santri yang meninggal tidak ada.

Jika dilihat dari jumlah pesantren yang ratusan ribu jumlahnya dengan santrinya hampir 2 juta, angka di atas menunjukan prosentase yang kecil. Artinya, jauh lebih banyak pesantren yang aman dan bebas dari paparan covid-19. Kabar baik ini harus terus dipertahankan untuk menunjukan bahwa pesantren tangguh menghadapi pandemi.

Sepatutnya kita berterima kasih kepada pesantren. Sebab, lembaga pendidikan ini telah membantu banyak pihak menekan angka penyebaran dan memastikan roda kehidupan tetap berjalan. Mari kita renungi berkah dari pesantren di saat pandemi ini:

Pertama. Pembelajaran Berjalan

Kehidupan santri di pesantren dengan tujuan menimba ilmu dan pengalaman berlangsung dengan baik. Lebih dari itu pembekalan pengetahuan dan penanaman nilai-nilai emosional juga spiritual tetap berjalan di saat lembaga pendidikan lain berkutat dengan problem belajar dalam jaringan.

Kedua Detoksifikasi Digital

Orang tua di rumah bukan main senangnya. Sebab tangan anak-anak mereka tak lagi menggenggam gawai. Adiksi terhadap handphone lambat laun berkurang. Kini tatapan mata mereka beralih ke kitab suci dan kitab-kitab lainnya. Tangan mereka menggores pena, menulis ilmu dan pengetahuan.

Ketiga: Ekonomi Masyarakat Hidup

Sudah pastim di mana-mana pesantren membawa berkah bagi lingkungan sekitarnya. Salah satunya pergerakan ekonomi dan lapangan kerja. Berapa banyak masyarakat sekitar pesantren yang bekerja di pesantren. Sebagai binatu, juru masak, pengemudi, karyawan, dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting unit-unit usaha masyarakat yang ada di sekitar pesantren tetap menggeliat.

Keempat: Orang Tua Nyaman

Selama pandemi kehidupan anak-anak di rumah bukan tanpa masalah. Kepusingan orang tua menghadapi resesi ekonomi keluarga, di tambah dengan tingkah anak-anaknya yang menyebalkan, kadang menambah derita. Namun, saat anak-anak mereka di pesantren, derita itu berkurang. Tidur nyenyak, kerja enak, hati pun tenang.

Namun demikian, semua pihak khususnya pesantren harus tetap waspada selama pandemi belum sirna. Pihak luar pesantren pun harus mendukung pesantren untuk menjadi tempat yang aman dan nyaman mencegah penyebaran. Mari kita dukung pesantren dengan membantu semampu yang kita bisa. Dukungan moril maupun materil yang diberikan kepada pesantren insyaAllah tidak akan sia-sia. Seraya tetap berdoa semoga santri, para kiai, dan para asatidz selalu diberikan kesehatan dan lindungan Allah SWT. Terima kasih Pesantren!

Penulis: Saeful Bahri adalah Alumni dan guru Pondok Pesantren Daar el Qolam, Tangerang, Banten. Pernah belajar di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Universitas Indonesia, dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Selain mengajar di almamernya, ia juga menulis beberapa buku di antaranya Lost in Pesantren (2017), 7 Jurus Betah di Pesantren (2019), yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here